Kata-Kata SMS

SMS Kata Cinta - Kata Gombal - Pantun Cinta - kata kata mutiara - SMS Ulang tahun, Malam, Pagi, Ucapan Pantun sms, Kata kata lucu


Kumpulan Cerpen Tetang Ibu; Kasih Sayang dan Kelembutan Ibu


Kumpulan cerpen tentang Ibu ini admin persembahkan untuk sobat semua. Rasanya begitu haru ketika kita membaca kisah kisah tentang Ibu. Ya, siapa yang tidak punya Ibu, semua punya karena kita pasti dilahirkan dari rahim seorang wanita yang bernama Ibu. Selama sembilan bulan kita dikandungnya, dibawa kemanapun pergi, dijaganya dengan sangat baik dan kemudian dilahirkandengan taruhan nyawa. Setelah lahir kitapun dirawat dengan penuh kasih sayang, maka tepatlah jika ada pepatah yang menyebutkan kasih Ibu bagaikan mentari yang menyinari dunia ini yang tidak akan padam sedikitpun.
cerpen tentang ibu

Kisah kisah tentang Ibu pasti akan ada sepanjang zaman ini masih ada. Akan tetapi tak semuanya kisah itu manis, ada juga kisah kisah yang memilukan. Misalnya saja kisah Malin Kundang anak yang durhaka, bagaimanamungkin seorang anak bisa mencampakan seorang Ibu, maka sudah tepat bila akhirnya si Malin Kundang dikutuk jadi batu, akan tetapi memang hati Ibu akan selalu penuh kasih sayang pada anaknya, sang Ibu pun menyesali kutukannya yang diucapkan kala emosi itu. Ibu Malin Kundangpun menyesali kutukannya tersebut, ini bukti bahwa sejahat apapun seorang anak, kasih sayang seorang Ibu tidak akan pernah padam. Dan berikut adalah beberapa kisah kumpulan cerita tentang Ibu.

Ibu Maafkan Aku

Aku adalah mahasiswa baru yang baru setahun masuk dan sekarang lagi ada Ujian Semester. Aku yang selalu hidup bersantai santai dan mulai jarang pulang ke rumah bermain dengan teman sampai tak kenal waktu sehingga membuat ibu selalu cemas dan khawatir. Hidupku saat ini sungguh seperti anak muda jaman sekarang banget. Ibu hanya dianggap sepele seperti pembantu saja. Berangkat kuliah pulang malam, hari libur tidak ada di rumah kelayapan kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. Yah begitulah…

Kemuadian, di siang yang cerah saat di ruang kampus aku duduk termenung sendiri menunggu mata kuliah berikutnya. Tiba-tiba datang seseorang mengagetkan aku dengan membawa kabar duka, yaitu Dewi teman sekelasku sekaligus tetangga ku juga. “Rama.. Rama.. Ibumu.. Ibumu..” Berbicara dengan nafas yang tersenggal-senggal karena habis berlarian menghapiriku. “Iya.. iya.. ada apa dengan ibu ku?” Tanyaku bingung dan khawatir. “Itu.. Ibumu kecelakaan..” “Apa…? yang benar kamu Wi?” Tanyaku terkejut. “Iya beneran, Barusan aku ditelpon Ibuku di rumah suruh ngasih kabar ke kamu!” “Apa..” Mataku terbelalak mendengar itu.

Bagai petir yang menyambar pohon yang rapuh, dah pohon itu pun tumbang. Seperti itulah perasaananku saat itu, tak karuan bingung harus melakukan apa dan tanpa pikir panjang lagi ku dengan secepat kilat pulang menuju rumah tak peduli walau itu masih ada jam kuliah yang harus aku ikuti karena adanya Ujian Semester.

Setelah ku berlari dari kampus yang tak jauh dari rumah dan akhirnya sampai, dan di rumah kulihat banyak orang berkumpul di rumah ku, sehingga membuat ku khawatir dan tak tenang. Ku berhenti sejenak dan mulai berpikir negatif akan apa yang terjadi pada ibu ku, seakan ku kehilangan sesuatu yang berharga di dunia ini, dan mulai ku melangkah perlahan lahaan untuk memastikan bahwa itu tidak benar, tapi sebelum sampai masuk rumah dan mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, tubuh ini serasa ringan tapi begitu berat untuk ku terus melangkah, dan mendengar suara samar samar orang yang lagi berbicara tapi setelah itu sudah tak terdengar lagi seakan ku mulai terputus dengan dunia ini.

Setelah beberapa menit aku pingsan tepat di depan rumah dan dibawa masuk oleh warga, ku mulai sadarkan diri lagi dan melihat Dewi di samping ku menemaniku dari tadi. “Aku dimana ini?” Tanya ku pada Dewi. “Di rumah mu Rama, di kamarmu ini..” jawab Dewi lirih. “Oh iya, dimana ibuku? Gimana kadaan Ibuku? Aku harus menemuinya!” sambil berdiri dan menuju pintu, tapi secepat aku berdiri secepat pula Dewi meraih tangan ku dan menarikku untuk duduk dan menenangkan diri dulu, tapi karena aku sudah sangat khawatir akan keadaan Ibu aku tetap memaksa untuk keluar kamar dan menemuinya, dan saat ku membuka pintu kulihat sesosok tubuh yang di balut oleh kafan putih dan tertutupi oleh selendang batik, sontak aku langsung membuka penutup itu dan… Aku pun tak sadarkan diri lagi setelah melihat wajah Ibunya yang sudah tak bernyawa lagi. Di waktu yang sama Ayah ku juga baru sampai rumah yang juga tergesa-gesa pulang mendengar kabar duka tersebut, karena tempat kerja Ayah ku jauh jadi agak lama untuk menuju ke rumah, sedangkan aku di bawa masuk lagi ke kamar karena belum sadarkan diri juga.

Di saat aku pingsan pemakamanpun mulai dilanjutkan lagi, karena Ayah sudah datang beserta sanak keluarga yang sudah menunggu dari tadi, dan karena sudah dimandikan sebelumnya jadi tinggal untuk di sholatkan dan segera untuk dimakamkan.

Kali ini pingsan ku lebih lama dibandingkan yang pertama tadi, ku baru sadar kembali setelah beberapa jam setelah kejadian itu. Saat itu pemakaman sudah kelar semua dan warga sekitar beserta saudara sedang mengadakan tahlilan untuk Ibuku, karena sudah tradisi di desa ini, apabila ada orang yang meninggal akan ada tahlilan atau selamatan bagi si almarhun.

Setelah ku tersadar, ku coba untuk duduk dan merenungkan apa yang sudah menimpa ku hari ini, ku benar benar kehilangan seseorang yang paling berharga di dunia ini, seseorang yang selalu ada di setiap jalan hidup ku sampai saat ini, yang selalu sabar dengan semua tingkah lakuku yang sering menyusahkannya dan sekarang sudah tiada.
Ku sedih dan meneteskan air mata yang sebelumnya tak pernah ku lakukan karena ada masalah, tapi ini benar-benar meremukkan hati dan jiwa raga ini. Tiba-tiba ku mendengar suara lirih untuk menguatkan aku. “Rama.. kamu yang sabar yah, semua ini pasti ada hikmahnya.. jadi janganlah kamu menyesali semua ini, semua yang hidup pasti akan mati dan kembali ke Rabbnya..” bujuk Dewi agar ku sedikit tenang, tapi ku masih termenug dan terdiam menyesali semua ini. “Dewi apakah ini hukuman bagiku karena telah menyusahkan dan mengecewakan Ibuku?” Tanya ku sambil menahan air mata yang tak kunjung berhenti ini. “Hm.. Jangan berpikiran beitu Rama, mungkin ini sedah takdir Ibumu dan cobaan bagimu Rama.. jadi tetep bersabarlah..”. “Tapi mengapa harus Ibuku..?” Dengan ekspresi tidak terima dengan semua ini. “Tenaglah Rama.. Sabar..” Dewi mencoba menenankan ku. “Sabar bagaimana.. Melihat Ibuku yang tidak salah apa-apa harus mengalami kejadiaan ini.. Mengapa Dew.. Mengapa? Tolong Dew, Citakan pada ku kejadiannya, ku ingin tahu..” pintaku ke Dewi untuk mengetahui kenapa sampai ini terjadi.

Dan akhirnya Dewi pun menceritakannya, “Begini Rama.. kau tahu hari ini hari apa?.. ini adalah hari ulang tahunmu kan.. Mungkin tidak begitu banyak orang yang mengetahuinya, tapi Ibumu selalu mengingatnya Rama..”. “Trus apa hubungannya dengan kejadian ini?” tanyaku penasaran. “Tadi ku sempat dengar cerita dari ibuku.. Ibumu tadi pagi begitu semangat untuk merayakan Ultahmu, Ibumu ke luar rumah untuk ke pasar membeli bahan-bahan buat nasi kuning kesukaanmu, pas di jalan ibuku bertemu dengan Ibumu dan meyapanya tapi saking senang dan semangtnya sampai sampai tak mendengar sapaan ibuku pagi tadi, padahal biasanya Ibumu selalu menyahutnya apabila ada yang menyapanya tapi kali ini memang sungguh aneh.. tapi pada akhirnya Ibumu dan Ibuku jalan bersama untuk ke pasar dan mengobrol. Dan Ibuku sempat bertanya pada Ibumu “Bu.. tumben nih hari beda dari biasanya.. lebih bagaimana gitu?” Tanya Ibu Dewi. “Beda gimana Ibu? Biasa saja ini.. Cuman saya lagi senang saja karena ini hari Ultah anakku, tadi pagi sebelum berangkat kuliah dia ingin minta di bikinin Nasi Kuning kesukaanya Bu..” jawab Ibuku. “Oh begitu ya Bu.. Ada-ada saja Rama itu.. (Sambil tersenyum) .. Ada yang bisa saya bantu Bu?” “Oh trima kasih Bu… tapi saya bisa tangani sendiri kok Bu..”. “Oh begitu ya Bu..”. Kemudian mereka pun pulang bersama karena bahan yang di beli serasa sudah cukup.”

Sesampainya dirumah Ibumu langsung masuk rumah dan mulai memasak, tapi tak tahu kenapa Ibumu keluar lagi dengan tergesa-gesa. “Lho Bu mau kemana lagi..?” Tanya Ibu Dewi yaag baru mau masuk rumah. “Itu ada yang kurang Bu, ini mau balik lagi ke pasar beli bahan yang kurang itu..” jawab Ibuku sambil tersenyum. Dan tiba-tiba terjadilah tragedi itu. “CIIITTT… BRUUAAKKK…” Suara mobil yang oleng, dan pada saat itu Ibu mu yang baru saja keluar rumah lalu mulai berjalan di tabrak oleh mobil yang oleng tadi, penyebabnya karena mobil itu bannya pecah.. kejadiaanya sangat cepat jadi Ibuku tak sempat memperhatikan itu.. dan yang sangat disesalkan Ibuku saat itu adalah Ibumu tak sempat di selamatkan karena pendarahan yang cukup parah di kepala sehingga meniggal di tempat..”.

Setelah mendengar kejadian itu ku mulai menangis lagi dan lebih parah sebelumnya, tangisan ini lebih berat dan menyakitkan hati sampai air mata ini tak dapat lagi di keluarkan. Dan saat itu pulalah ku berdoa dan meminta serta berjanji pada Allah dalam hati.. “Ya Allah.. maafkan lah hambamu ini, ampunilah dosa hambamu ini yang selalu mengecawakan dan menyusahkan Ibu hambamu ini.. Aku berjanji akan menjadi anak yang lebih baik lagi, lebih berbakti lagi kepada Ibu Ya Allah, Hambamu mohon janganlah Engkau ambil Ibu, kembalikan Ibu Ya Allah..”
Tiba-tiba ku mendengar suara yang cukup keras tepat di telingaku, sehingga membuatku terkejut kaget mendengarnya. Dan akhirnya aku terbangun dan tersadar bahwa aku sedang dibangunkan oleh Dosen yang galak, karena aku tertidur dan tak bangun di atas bangku. Sontak ku bangun dan terdiam karena di omeli Dosen tersebut, dan setelah itu Ujian Semester di lanjutkan lagi. Tapi ada perasaanku yang masih mengganjal di pikiranku, tapi masih begitu samar-samar karena masih kaget karena suara Dosen tadi yang cetar membahana itu.

Dan akhirnya Ujian selesai dan ku ketemu dewi saat keluar kelas, saat itulah tiba-tiba saja air mata ku menetes entah kenapa dan mulai mengingat mimpi yang seperti kenyataan itu tadi. Dan akupun segera pulang untuk memastikan mimpi itu benar atau salah. Dan sesampainya di rumah aku benar-benar bersyukur melihat ibuku masih sehat-sehat saja sedang memasak di dapur, kemudian ku peluk Ibu dan meminta maaf padanya karena kelakuanku akhir-akhir ini.

Mimpi itu benar-benar jadi pelajaran buat ku bahwa Ibu adalah seseorang yang sangat berharga dan tak tergantikan oleh apapun. Mulai saat itu aku merubah gaya hidupku yang berantakan dan terkesan ugal-ugalan menjadi lebih baik.

Maafkan Aku Bunda


Aku berada di sebuah taman hijau yang indah dipenuhi dengan bunga-bunga merah yang bermekaran, di tengahnya ada kolam air bundar yang penuh dengan susu coklat yang sangat menggiurkan, di samping kolam itu ku temukan pantai dengan air yang biru, aku berlari menuju pantai dan masuk ke dalam airnya, “begitu sejuknya air ini” ucapku. Tapi aku berenang terlalu jauh dan aku mulai lelah, tiba-tiba tanganku tak lagi bisa ku gerakkan begitu juga dengan kakiku. Aku kehilangan kemampuanku untuk berenang. Perlahan tubuhku masuk ke dalam air yang begitu dalam aku berusaha minta tolong tapi tak seorangpun yang ada di sekitarku. Aku bingung, aku melonjak-lonjakan kakiku berusaha berenang tapi aku tak bisa. Aku mulai kehabisan napas, mulut dan hidungku penuh dengan air. “Tuhan bantu aku” aku berdoa dalam hati.
Tiba-tiba…
Byuuurrr. Seember air menyiram mukaku…
“Liat jam tuh, mau libur kamu sekolahnya hari ini, kalau masalah bangunin kamu kalau gak kayak gini gak akan berguna” ucap Bundaku marah.
“Iya bun, bentar lagii!” jawabku.

“Liat jam tuh, mau dihukum sama Pak Joe lagi”
Dengan mata yang masih ngantuk aku menatap jam di dinding kamarku.
“HAH, udah jam delapan?”
Aku bergegas menuju kamar mandi. Dengan sabarnya Bundaku menyiapkan buku dan seragam sekolahku.
Selesai mandi aku segera bersiap, tanpa mencium tangan bundaku aku berangkat menuju sekolah.
“Jangan lupa makan Naa, uang jajan kamu udah bunda tambah buat kamu makan di sekolah!” ucap Bundaku dari jauh.
“Iyaa bun” Jawabku.

Sesampainya di sekolah, guru ekonomi yang paling tidak pengertian menurutku sudah berada di dalam ruangan. Dengan sedikit omelan aku diperbolehkan untuk mengikuti pelajaranku hari ini.
“Anak-anak sekarang kumpulkan buku kalian” ucapnya.

Aku membuka tas ranselku dan mencari buku Pr Ekonomi ku, tak ku temukan buku itu dimanapun. “Pasti bunda lupa sama buku Pr-ku, ini nih susahnya punya Bunda gak sekolah” gumamku marah. Aku kesal karena Bundaku lupa dengan Pr yang sudah susah-susah aku kerjakan. Aku minta izin keluar dan segera menelpon bundaku.
“Iyaa Naa, ada apa?” Jawab Bundaku di ujung telpon.
“Bunda lupa sama Pr Naa yaa, bunda gak tahu sih tadi malam Naa begadang buat ngerjain Pr itu, kalau sekarang gak dikasihin sama Bu Guru, Naa gak dapat nilai trus gak naik kelas kalau sampai Naa gak naik kelas itu gara-gara Bunda ya, kalau tau bakalan kayak gini mending Naa gak masuk aja dari tadi, atau sekalian Pr-nya gak Naa kerjaiin, Bunda sengaja ya mau bikin Naa gak naik kelas biar kita sama, Naa gak mau sama kaya Bunda. Naa mau pintar gak mau bodoh kayak Bunda, aku gak mau punya anak tanpa ayah sama kayak bunda”
“Naa, bunda minta maa…”

Tuuuttt… tuuuttt… Aku menutup telponnya setelah puas melimpahkan kekesalanku dengan Bundaku. Aku tak peduli bagaimana dengan keadaan bundaku di rumah.
Hari itu aku tidak masuk kelas lagi, aku bolos dengan beberapa temanku. Kami pergi ke pantai dekat dengan sekolahku. Kami di pantai sampai sore, malam ini aku juga tidak pulang ke rumah aku menginap di rumah temanku. HPku ku matikan agar tak ada gangguan dari siapapun.
Esoknya aku pulang ke rumahku dengan perasaan puas karena telah melampiaskan kekesalanku kepada bundaku. Sesampainya aku di rumah aku berharap bundaku akan meminta maaf kepadaku.
Namun apa yang aku dapatkan sangat berbeda sekali dengan apa yang aku harapkan. Entah mengapa banyak orang yang berada di rumahku. Aku bingung namun aku tetap masuk ke rumahku. Pandangan semua orang menuju kepadaku, ada apa gerangan pikirku.
“dari mana saja kamu!” Tanya pamanku padaku.

“Suka-suka aku dong, kaki aku ini, ngapain kalian di rumahku, pulang sana!” jawabku marah.
“KAMUUU!” jawab pamanku lagi sambil mengepalkan tangaannya.
“Yandi, sudah! dia masih anak-anak” sebuah suara lirih menyehut dari dalam kamar Bundaku. Aku menjulurkan lidahku memperolok pamanku.
Aku masuk ke kamar bundaku, aku berharap bundaku akan meminta maaf karena telah membuatku ketinggalan Pr-ku. Namun tak ku temui bundaku di kamar itu yang ada hanya Nenek-ku dan beliau menyerahkan sebuah surat padaku.
“Ibumu pergi Naa, sebaiknya kamu baca surat darinya” ucap nenekku sambil membelai lembut rambutku.
Dear anakku yang ku sayangi..

Maaf Naa, bunda gak bisa jadi bunda yang baik buat kamu. bunda juga minta maaf gara-gara bunda Pr Naa telat dikumpulnya.. bunda sudah antar Pr Naa ke sekolah, bunda juga sudah ngomong sama Guru Ekonomi Naa, dan dia mau nerima Pr Naa. Bunda nyesaalll banget Naa, gara-gara bunda juga Naa jadi dimarahin sama bu Guru coba Bunda bangunin Naa lebih pagi..? masalah Naa gak punya ayah itu gak bener Naa, ini Bunda pergi ke Semarang buat jemput ayah Naa. Nanti bunda kenalin sama ayah kalau Naa sudah gede. Mungkin Naa bisa mengerti kenapa bunda gak pernah ngasih tau Naa tentang ayah Naa. Bunda sudah nitipin Naa sama nenek, makanan buat seminggu ke depan juga sudah bunda siapin. Baik-baik sama nenek yaa Naa! Bunda sayaaanggg Naa..
Ciuman sayang dari bundamu ..:*
“Emang ayah Naa kenapa nek koq bunda gak pernah ngasih tau Naa” tanyaku perlahan pada nenekku.
“Ayah Naa sakit makanya dirawat di rumah sakit” jawab nenekku.
“Trus kok di rumah rame nek, mau nyambut kepulangan ayah yaa..”
“Nanti Naa juga tau” jawab nenekku singkat.

Malam ini aku tak bisa tidur nyenyak aku mengingat bundaku. Aku tidur ditemani nenekku.
“Naa, Naa sayang gak sama bundanya?” Tanya nenekku.
“Gak nek soalnya bunda gak pernah ngasih tau Naa siapa ayah Naa, Naa kan malu diejek sama teman-teman” jawabku.
“Naa mau nenek ceritain gak tentang ayah Naa?”
“Mau nek..” jawabku mantaapp.

“Ayah Naa itu seorang pelaut makanya ayah Naa jarang pulang, ayah Naa mengemudikan sebuah kapal besar. Ayah Naa sering keluar negeri”
“Artinya ayah pernah ke Eropa dong Nek” sahutku dengan penuh kekaguman.
“Iya Naa, ayah Naa juga sudah keliling Dunia, ayah Naa lelaki yang sangat hebat”
“Trus kenapa ayah gak pernah nengok Naa nek”
“Mungkin Naa udah lupa ayah Naa sering gendong Naa waktu Naa kecil”
“Trus kenapa ayah sekarang gak pernah nemuin Naa lagi nek?”
“Naa, semua hal gak selalu berjalan baik, suatu hari kapal ayah Naa dihantam badai besar dan ayah Naa menghilang ditelan lautan, sampai kemarin ada yang nelpon Bunda Naa katanya ayah Naa ditemukan di daerah Semarang, ayah Naa hilang ingatan sehingga harus dijemput, Bunda Naa langsung pergi jemput ayah Naa kesana,”
“trus kenapa di rumah ada tahlilan nek?”
“Untuk itu Naa harus sabaaarr ya sayang”

Aku berlari menuju nisan Bundaku. Aku menangis sejadi-jadinya di depan nisan itu berkali-kali ku ciumi benda putih itu tanpa bisa berkata apa-apa. Kata-kata nenekku malam masih membekas di hatiku. Nenekku juga menitipkan sebuah buku harian Bundaku kepadaku. “Bundamu kecelakaan sepulangnya dari mengantarkan Pr mu ke sekolah Naa, karena bundamu harus lekas ke bandara untuk pergi menyempatkan pesawat yang dipesannya, karena tergesa-gesa mobil bundamu menabrak tiang listrik, sehingga menyebabkan pendarahan yang sangat hebat di kepalanya”
“kenapa gak nunggu Naa nek?” jawabku terisak.
“Naa ditunggu beberapa jam gak datang, dihubungin gak aktif, trus ke sekolah gak masuk sedangkan darah yang mengalir di kepala bundamu gak berhenti makanya kami dari pihak keluarga memutuskan untuk memakamkannya segera, maafkan nenek Naa”
Cerita itu masih membekas di kepalaku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan malam itu.
“Ini Naa nenek menemukan diary ini di lemari bundamu”

Aku buka lembar diary itu satu persatu dan aku menemukan jawaban semua pertanyaanku.
Aku kecewa kenapa anakku sendiri harus begitu marahnya padaku. Aku gak memberitahu siapa ayahnya karena aku takut dia malu karena ayahnya seorang yang terkena gangguan jiwa. Aku takut dia malu, biarlah aku yang menanguung sakit hati ini asalkan dia bisa tersenyum sepanjang hari, itu sudah cukup mengobati sakit hatiku…
Hari ini aku bersikap tegas terhadap Naa, bukan karena aku tak sayang padanya tapi aku ingin dia lebih dewasa dalam menjalani hidupnyya, aku ingin dia lebih teratur lagi…

Cukuplah aku yang kecewa karena tak mendapatkan apa yang aku inginkan asalkan Naa mendapatkan semuanya.
Ku peluk buku kecil itu namun itu tak bisa menggantikan Bundaku yang teramat hebat. 17 tahun aku membenci Bundaku, namun seumur hidupku harus ku relakan untuk menyesali kebencianku kepadanya. Yaa, aku sangat menyesali apa yang telah aku lakukan dulu sampai saat ini dan itu karena aku kehilangannya.

Sajadah Buat Emak


Endraaa, mandi!” Emak memanggilku. Kutinggalkan lapangan. Itulah tempat bermainku dan kawan-kawan. Tidak luas sih, tapi cukuplah bagi kami bermain kejar-kejaran sampai badan dan baju basah kena keringat.
Tak ingin Emak memanggilku untuk kedua kalinya, aku berlari menuju halaman belakang rumah. Tidak langsung pergi mandi sih, badanku masih basah dengan keringat. Nih, malah ada keringat menetes dari sela-sela rambutku, mengalir turun sampai leherku. Lagi pula kata Emak kalau badan masih berkeringat sebaiknya tidak buru-buru mandi. “Nanti malah sakit. Tunggulah sebentar sampai suhu badanmu normal. Tidak kaget jadinya waktu kena air,” begitulah nasihat Emak.

Wah, seru sekali permainan kami hari ini. Begitu serunya hingga waktunya shalat Maghrib tiba masih saja aku ingat betapa hebat cara kami saling menjatuhkan menara. Bukan menara betulan lho, melainkan pecahan-pecahan genting tanah liat yang kami tumpuk hingga setinggi lutut anak kecil. Kami bermain dalam dua kelompok berlawanan. Masing-masing kelompok punya satu menara yang harus di jaga dari kelompok lain. Jika menara berhasil dijatuhkan hingga tak ada lagi sisa pecahan genting yang bertumpuk, maka kelompok yang menjatuhkan menara tersebut memenangkan permainan. Coba kalau tadi Emak tidak memanggilku, pasti kami masih asyik bermain.
Saat hendak mengambil air untuk wudhu, ku lihat wajah Emak yang letih. Mungkin cucian baju Emak sangat banyak hari ini. Kalau saja aku dapat membantunya. Sayang, tempat Emak bekerja jauh sekali dari sini. Emak juga melarangku ke sana.

“Emak malah khawatir kalau Endra nyusul Emak ke sana. Endra kan masih kecil. Sudahlah, yang penting Endra belajar yang rajin, shalat yang rajin, ngaji juga yang rajin, ya! Pokoknya Endra harus jadi anak pintar, tawakal, dan berbakti kepada negara. Janji sama Emak, ya.” Yah, kalau Emak sudah bilang begitu, aku hanya bisa mengangguk. Tapi dalam hati aku berjanji, pada Emak juga diriku sendiri, pasti aku akan rajin melakukan semuanya itu. Aku ingin Emak bangga dan bahagia melihat usahanya memasukkanku ke sekolah luar biasa tidak sia-sia. Walaupun aku tidak bisa bicara dengan mulutku, aku akan bicara dengan karya dan kerjaku.
“Endra, ayo shalat dulu. Kok bengong?” tegur Emak lembut sambil tersenyum. Kubalas senyum Emak. Tak lama kemudian, aku dan Emak shalat Maghrib di mushala yang letaknya agak jauh dari rumah.

Dalam shalatku, muncul keinginan melihat Emak shalat di rumah beralaskan sebuah sajadah yang indah. Lho, kok? Ah, sudah-sudah, shalat yang benar. Pikiranku kok ke mana-mana sih? Selesai shalat, terlintas lagi keinginan itu. Iya, ya, Emak kan sekarang tidak punya sajadah, pikirku ketika itu. Memang, kalau hujan deras dan kami tidak bisa shalat di mushala ini, Emak dan aku terpaksa menggunakan selembar kain putih kecil yang lebih tepat di sebut sebagai sapu tangan sebagai ganti sajadah.

Emak pernah punya sajadah. Tapi untuk keperluan sekolahku, Emak menjual sajadah dan rukuhnya. Akhirnya, sebisa mungkin kami selalu shalat di mushala atau masjid sehingga Emak bisa meminjam rukuh yang disediakan di sana dan tak perlu khawatir dengan sajadah.

Nah, seminggu yang lalu Emak di beri rukuh oleh seorang ibu yang di rumahnya Emak biasa mencucikan baju. Emak kelihatan senang sekali. Sekarang tinggal sajadahnya. Ah, aku ingin sekali melihat Emak shalat dengan rukuh dan sajadahnya sendiri. Kalau saja aku boleh ikut teman-teman yang lain menyemir sepatu atau mengamen di jalan. Tapi aneh juga sih, kalau mengamen bagaimana caraku menyanyi? Aku kan tuna wicara. Alat musik juga seadanya. Semir sepatu juga butuh uang untuk membelinya. Belum lagi kalau ketahuan Emak aku bekerja di jalanan. Aduh… pusing deh. Lalu dari mana aku dapat uang untuk beli sajadah?

Usai shalat di mushala, kami kembali ke rumah. Ku buka lemari pakaianku untuk mengganti sarung dengan celana panjang. Mataku tertuju pada selembar karung terigu warna putih yang sudah di cuci bersih, setumpuk pakaian warna-warni yang sudah tidak muat lagi, gunting, benang dan jarum jahit. Aha! Sepertinya aku dapat ide!
22 Desember, kira-kira tiga bulan kemudian, ideku sudah selesai dilaksanakan. Pakaian kekecilan yang berwarna-warni kuguntingi membentuk masjid dan hiasan-hiasan lain lalu kujahit di atas karung terigu. Tak sabar rasanya menunggu Emak pulang sore ini.

Azan Maghrib berkumandang ketika Emak pulang dan tersenyum melihatku menunggunya di depan pintu. Dan ketika sudah waktunya kami ke mushala, aku berpamitan untuk pergi mendului ke mushala untuk shalat Maghrib sambil menitipkan sepucuk surat. Emak yang bingung melihat tingkahku hanya melongo. Ah, aku grogi nih, dag-dig-dug rasanya debaran jantungku. Aku ingin agar Emak lebih dulu membaca suratku sebelum membuka kejutan yang kusiapkan.

“Emak, terima kasih, ya, sudah menyekolahkan Endra. Tapi Endra sedih waktu Emak harus jual rukuh dan sajadah untuk bayar sekolah. Mak, sekarang kan Emak sudah punya rukuh, tapi belum punya sajadah. Endra ingin sekali lihat Emak pakai sajadah. Tapi Endra nggak punya uang untuk beli. Karena itu Endra bikin sendiri. Semoga Emak suka. Selamat Hari Ibu, ya, Mak. Endra sayang deh sama Emak. Hatur nuhun, Emak. Dari Endra, anak Emak yang paling ganteng hehehe…”
Dari balik pintu ku lihat Emak terkejut membaca tulisanku. Aduh, Emak kok malah nangis ya? Aduh, memangnya tadi aku nulis apa sih? Atau hasil karyaku jelek buat Emak? Ah, sudahlah, tunggu saja di sini, batinku.

Tak lama kemudian Emak keluar dan mendapati aku yang berdiri di balik pintu. Emak berlutut dan menciumiku sambil menangis sembari mengucapkan terima kasih berulang kali. Senangnya hatiku, tidak sia-sia kukorbankan waktu bermainku selama tiga bulan ini.
Hari itu hari yang paling indah bagiku. Melihat senyum Emak terasa seperti surga buatku meski hingga kini aku masih tidak tahu seperti apa dan di mana surga itu berada. Sajadah itu pula yang menjadi kenanganku dengan Emak sebelum Pemilik Surga memanggilnya. Selamat jalan, Emak.

Mama Jangan Pergi


“Raka…raka…!” teriak mama yang memeanggil Raka. tapi Raka tidak memperdulikannya, ia malah asyik main PS.
“Raka, cepet mandi, setelah itu belajar!”
“enggak aahh mah males nanti dulu.”
Jam dinding pun menunjukan pukul 20.00, akhirnya Raka pun berhenti bermain PS, dan lekas mandi. Setelah mandi dia langsung tidur bukannya belajar, hal ini yang selalu membuat mama ngomel terus ke Raka.
Mama pun masuk ke kamar Raka.

“Raka kok malah tidur? bukannya besok kamu ada ulangan Matematika? tanya mama yang penuh perhatian kepada Raka, “enggak aah mah males, Raka ngantuk mau tidur aja.!” jawab Raka ketus.
“ya sudah mungkin kamu lelah, istirahat saja ya nak, besok kan sekolah” kata mama lemah lembut.
mama pun keluar dari kamar Raka dan segera masuk ke kamar nya.

Tiba tiba saat di kamar penyakit jantung mama kambuh, mama sudah mengida penyakit jantung selama 5 tahun yang lalu, tapi mama dan papa Raka tidak pernah memberi tahu Raka,karena takut Raka sedih, soalnya Raka anak satu satu nya.
Esok hari Raka pun pergi sekolah, dengan wajah ceria, padahal tadi malam dia tidak belajar untuk menghadapi ulangan nanti.
Kring… Kring… Kring… bell masuk sekolah.
Saat nya pelajaran Matematika, Pak Agus pun masuk.

“anak anak sekarang kita ulangan, siap tidak siap keluarkan alat tulis kalian”
“Aduh gimana nih, aku kan belum belajar tadi malam. aaahh bodo amatlah nanti tang ting tung aja, gampangkan” pikir Raka dalam hati.
selama ulangan berjalan Raka hanya menjawab asal asalan, setelah selesai, ulangan dikumpulkan. Pak Agus pun langsung mengoreksinya.
“Tedyuko Chan, kamu dapat 100, Nicholaus Fernando kamu dapat 9.8, Izumi Akasi Lee kamu dapat 9.6, Kohasi Atari kamu dapat 8.9, Keenan Willson kamu dapat 8.4, Raka Emmanuel………………. kamu dapat 3.2″ seru Pak Agus panjang lebar.
“HAAAAAAAAAH, Aku dapat 3.2?” Raka pun terkejut.

Kring… Kring… Kring… bell pulang sekolah, anak anak SD Christian School International pun pulang, ada yang naik jemputan, dan ada pula yang di jemput orangtua nya. Raka yang biasanya di jemput papa nya, kali ini papa nya jemput agak lama.
“aduh papa mana sih? udah tau kan panas!” keluh Raka.
Tak lama kemudian mobil papa nya Raka pun datang.
“Raka ayo cepat masuk mobil!” pinta papa.
“iya pa” jawab Raka singkat.

Selama perjalanan papa hanya diam saja tidak seprti biasanya. Hal ini membuat Raka bingung.” papa kenapa ya? biasanya setelah aku pulang sekolah pasti papa nanya apakah ada PR (Pekerjaan Rumah) atau tidak.” Pikir Raka dalam hati.
Sesampai di rumah,hal ini membuat Raka bingung, kenapa ada bendera kuning di depan rumahnya, dan banyak sekali orang yang memakai baju hitam.
“Pa ada apa ini? kenapa pada pakai baju hitam? dan di depan rumah juga ada bendera kuning.?” Tanya Raka.
papa terdiam sejenak dan akhirnya menjelas kan semuanya. kalau mama nya telah pergi untuk selamanya. Raka pun langsung berlari dan menemui jasad mamanya.
“ma….. mama jangan pergi,jangan tinggalin Raka ma… Raka enggak mau sendiri, maafin Raka ma… atas semua salah Raka, Raka janji enggak akan ulangin lagi.. hiks…. hiks.. hiks… maaa…. mama…” begitulah tangis Raka.
Raka masih sangat kehilangan mamanya, dia pun berjanji akan rajin belajar unyuk mamanya senang di surga sana!
“ma, mama adalah perempuan paling istimewa dihati Raka, Raka janji akan belajar supanya mama senang disurga sana! I LOVE U Mom, aku akan selau merindukan mu, selamat jalan ma!” Tangis Raka yang tak henti henti.

Ternyata Ibu Perduli


Namaku wilania. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Umurku kini 15 tahun. Aku tinggal dengan keluarga yang berkecukupan. Ayahku bernama Jaenal, beliau berumur 49 tahun. Ayahku sudah dua tahun bekerja di Jepang sebagai businessman dan ia pulang ke rumah hanya tiga bulan sekali. Lalu ibuku bernama Ayira, beliau berumur 44 tahun. Dan kakakku bernama Meiriska Hanna, dia berumur 17 tahun.

Hari semakin gelap dan hujan turun membasahi kami yang sedang menunggu jemputan. Menunggu sampai sore dan akhirnya jemputan kami datang. “huh… Gimana sih pak. Kok lama banget datangnya?” tanya kak Hanna, panggilanku untuknya. “iya… Maaf mba, tadi ban mobilnya bocor”. Jawab pak Karim, sopir pribadi keluarga kami. Setelah beberapa menit di perjalanan menuju rumah, akhirnya tiba juga di rumah. “ibu… Kita pulang” teriakku sambil mencari ibu. “wah… Hanna gimana ujiannya? Kamu bisa mengerjakannya?” tanya ibu sambil menarik tangan ka Hanna. “bisa bu… Ya ada yang bikin bingung juga sih bu. Tapi aku bisa menyelesaikannya kok” jawab kak hanna dengan gembira. Aku mendengarkan mereka berbicara dan bercanda. Karena aku merasa seperti tidak ada di hadapan mereka, aku meninggalkan mereka dan masuk ke dapur untuk mencari makanan. Aku melihat meja makan yang kosong, tidak ada makanan yang disediakan. “ibu… Kok ga ada makanan? Aku kan laper bu, habis ujian” sindirku kepada ibu. “iya wila… Ibu ga masak. Kamu mesen aja di luar” seru ibu dengan teriakannya. Saat ku telepon Pizza Hut untuk memesan pizza, tiba-tiba ibu datang ke dapur dengan menggandeng kakak. “wil pesennya dua yah, buat kakakmu juga. Kasian tadi dia kebingungan ngisi kertas ujiannya” pinta ibu kepadaku sambil memberi kakak minum. Selesai menelepon, aku pergi ke kamar. Kubuka buka catatan diaryku yang pertama kubeli. Aku menulis kejadian yang sangat menyedihkan dan membahagiakan.

Setelah setengah jam aku menunggu pesanan, akhirnya datang juga pesanan yang kupesan itu. “tok… Tok..” Terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Kuhampiri ruang tamu untuk membukakan pintu tapi ibu sudah membukakan pintu itu. Setelah ibu memberi uang kepada pengantar pizza, ia memberikan pizza tersebut kepadaku. “nih, pizzanya. Jangan lupa kakakmu kasih” “iya bu..”. Aku langsung pergi ke dapur dan memanggil kak Hanna. “kak… Pizzanya udah datang nih. Buruan ke meja makan” panggilku kepada kak Hanna. Kemudian kak Hanna keluar dari kamarnya “Wil, punyaku mana? Yang ini atau yang itu?” Sambil menunjuk dua pizza tersebut. “yang mana aja kali kak. Kan sama aja rasanya” jawabku. “kakak kira kamu pesen yang beda rasa sama pizza kakak. Jadi kakak tanya dulu” jelas kak Hanna. “bu… Mau pizza ga nih? Aku sisihin ya” teriak kak hanna memanggil ibu. Karena suara kak Hanna sangat keras, ibu langsung menghampirinya “ada apa sih Hann?” Tanya ibu kepada kak Hanna. “ibu mau ga? Nih aku sisihin” tanya kak hanna kepada ibu. Setelah aku menghabiskan pizza itu sendirian, tiba–tiba kepalaku pusing dan mengeluarkan darah dari hidungku. “Wil? Kamu kenapa. Ada darah di hidungmu” tanya kak Hanna kepadaku. Tak sempat kujawab pertanyaannya, aku langsung tak sadarkan diri.

Mataku mulai terbuka melihat ke sekeliling ruangan. “aku dimana?” Gumamku. “Wil gimana keadaanmu?” Tanya seseorang yang ada di sebelah kananku. “kak Hanna.. Ini dimana kak?” Tanyaku. “rumah sakit… Tadi kamu pingsan. Karena aku dan ibu panik, ya kita bawa kamu ke rumah sakit” terangnya. Aku melihat ke sekeliling ruangan, dan tidak melihat ibu. Aku berpikir kalau ibu tidak peduli dengan keadaanku. “kak Hanna, ibu mana?” Tanyaku penasaran kepada kak Hanna. “oh ibu, karena ia panik, ibu menelepon ambulan dan ia tidak ikut karena ingin memberitahu ayah tentangmu” “oh ternyata ibu masih peduli kepadaku” gumam hatiku. Kak Hanna tiba–tiba ingin keluar ruangan. “Wil, kakak mau cari sinyal ya, disini sinyalnya jelek. Cuma sebentar kok, kakak pasti balik lagi” sambil tersenyum padaku. Dan kubalas senyumannya dengan maksud memberikan persetujuan.

Beberapa jam kemudian, pak dokter menghampiriku yang sedang berbaring. “namamu Wilania kan?” Tanyanya ke padaku. “iya dok, dokter yang periksa saya?” “iya… Ibu kamu ada?”. Aku heran dengan pak dokter yang menanyakan ibu, karena yang sakit kan aku bukan ibu. “memangnya ada apa dok? Kok tanya ibu?” Sedikit penasaran kutanya langsung kepada pak dokter. “mau ngasih laporan tentang keadaanmu” jawab pak dokter. “ya sudah, kasih tahu ke saya aja dok” saranku. “jangan… Kamu masih belum mengerti” cegah pak dokter. “brak…” Suara pintu terbuka. “eh ibu… Ibu darimana saja?” Tanyaku kepada ibu. “tadi ibu telepon ayahmu dulu. Eh pak dokter, lagi apa pak?” Tanya ibu kepada pak dokter. “kebetulan ibu datang. Tadi saya menanyakan ibu kepada Wilania. Saya ingin melaporkan hasil tes anak ibu” “oh, kalau begitu ayo pak. Tapi Jangan disini pak, di luar saja” ibu mempersilahkan pak Dokter ke luar ruangan. Karena aku begitu heran dengan pak dokter yang sedikit menutupi keadaanku. Aku mengintip dan mendengarkan mereka dari selah–selah pintu. Saat aku mendengarkan mereka bicara, pak dokter mengatakan “ker”. Kemudian aku melihat ibu sedih. Kudengarkan perkataan pak dokter yang mengulang kata “ker”. “hah…” Gumam hatiku dan aku terdiam mendengar kata “kanker”. “stadium berapa dok?” Tanya ibu kepada pak dokter dengan nada rendah. “stadium akhir” pak dokter menunduk. “apa…?” Ibu terkejut mendengarnya. Dan aku pun tak menyangka akan separah itu keadaanku. “tapi dok, kenapa tidak ada tanda–tanda Wila terkena kanker dok? Setahu saya Wila tidak pernah mimisan dan hanya kali ini dia mimisan dan pingsan” ibu menitikan air mata. “mungkin anak ibu menutupinya” jawab pak dokter. Karena mendengar ucapan pak dokter tersebut, aku langsung berbaring kembali ke tempat tidur dan memikirkan kembali apa yang tadi pak dokter katakan.

Tiba–tiba ibu menghampiriku dan aku melihat wajah ibu tidak sedih. Sepertinya ibu menutupinya. Ibu tersenyum padaku dan kubalas senyumannya. “Wil, sebelum pingsan kamu mimisan. Apakah kamu sering mimisan?” Tanya ibu kepadaku dengan ragu. “aku lupa bu” aku menoleh ke arah kiri. “jangan bohong… Kamu” ibu membentakku. Aku terkejut dengan bentakkan ibu dan terdiam. “bu… Aku sakit apa? Sampai ibu membentakku seperti itu?” Tanyaku sambil menitikan air mata. “engga… Kamu ga sakit keras kok” sambil memalingkan wajahnya ke arah kiri dan ia pun pergi. Aku memikirkan tentang diriku mimisan. Seingatku pertama kali mimisan yaitu waktu kelas tiga SMP. Saat itu aku sedang makan siang di sekolah. Dan setiap sebulan sekali aku mimisan. Tapi saat ini setiap semingu sekali aku selalu mimisan. Karena kau takut dimarahi, aku tidak memberitahukan kepada kedua orangtuaku.

Setelah seminggu aku dirawat di rumah sakit. Sesuatu terjadi kepadaku, Rambutku mulai rontok dan tubuhku semakin melemah. Sepertinya penyakit itu telah menjalar ke seluruh tubuhku. Setiap hari selalu ada yang mengunjungiku. Baik temanku maupun teman–teman kedua orangtuaku. “gimana kamu, Wil? Udah seminggu ga masuk ke sekolah” tanya salah satu temanku yang bernama Gita. “iya nih… Aku juga ingin segera keluar dari sini” sambil cemberut. Karena aku begitu rindu dengan buku diaryku, aku meminta tolong kepada Gita untuk mengambilnya di rumahku. Tapi aku ingin dia tidak diketahui oleh ibu. “Git, aku punya satu permintaan untukmu. Tapi apakah kamu bersedia?” Tanyaku kepada Gita dengan tenang. “apa Wil? Silahkan saja, aku ini kan teman dekatmu” jawab Gita dengan mengelus rambutku. “aku ingin kamu mengambil buku diaryku di kamarku. Tapi tanpa sepengetahuan ibuku” kutatap matanya. Gita pun terkejut karena untuk menolongku mengambilkan diary itu gampang tapi untuk tidak diketahui ibuku itu susah. “akan kucoba Wil” jawab Gita dengan tersenyum kepadaku. Dan kubalas senyumannya.

Keesokan harinya Gita datang ke rumah sakit. “Wila, aku dapatkan diarymu” sambil memelukku yang sedang berbaring. “oh ya… Mana?” Sambil tanganku meminta. “ini dia” dengan tersenyum Gita memberikan kepadaku. “oh… Terimakasih Git. Kamu memang teman dekatku yang baik” saku memeluk daryku dengan erat. “memangnya apa yang kamu tulis sih di diarymu itu? Sehingga kamu ingin diary itu”. “aku sudah tulis kesedihanku dan kebahagiaanku tentang keluargaku. Jadi jika suatu saat nanti aku menghilang. Kesedihanku dan kebahagiaanku selama ini tertulis di diaryku ini. Nanti kamu kasih ke kakak atau ke ibuku atau siapalah yang penting keluargaku, yah…”. “iya Wil. Tapi kamu jangan ngomong gitu ah. Kamu pasti sembuh” Gita menyemangatiku dengan senyuman dan dukungan.

Sudah dua bulan aku berbaring di rumah sakit. Namun kali ini tubuhku sudah tak bisa bergerak dan kepalaku sudah tidak ditumbuhi rambut. Dan hari kemarinlah aku terakhir menulis di catatan diaryku. Mungkin ini memang takdirku. Kini ayahku tiba di Indonesia untuk menjengukku. Dan begitu pula yang lainnya. Mereka semua tinggal di rumah sakit untuk menemaniku. “ibu… sepertinya aku akan pergi bu, aku minta maaf karena aku mengira ibu tidak peduli kepadaku” kalimat yang ku ucapkan kini tak jelas. “ada apa Wil?” Tanya kakak. Aku hanya menggelengkan kepala. Semua keluargaku berkumpul dihadapanku. Mereka menatapku seperti kasihan kepadaku. Aku tak sanggup untuk melihat wajah mereka sehingga aku menitikan air mata. “ada yang kamu mau katakan?” Tanya ayahku. “iya… Aku ingin kalian tahu. Bahwa aku menyayangi kalian semua” begitu sulit aku mengucapkannya. Mereka tidak mengerti perkataanku, demi kejelasan perkataanku. Mereka memberikanku abjad dan aku hanya mengangguk jika salah satu abjad itu ditunjuk oleh kakakku benar. Setelah selesai, beru mereka mengerti apa yang aku katakan. “Wil, ibu mohon kamu jangan tinggalkan ibu. Ibu belum melihatmu bahagia”. Kemudian ibu menangis dan aku sedih melihatnya. Aku tersenyum menandakan aku bahagia. Setelah mengatakan hal tersebut mataku mulai bergoyang dan perlahan–lahan pandanganku memudar. Mungkin ini terakhir aku hidup, dan mataku tertutup untuk selamanya. Mereka semua menangisiku, sebelum tubuhku tidak bisa bergerak dan aku pergi selamanya. Aku menyimpan buku diaryku di atas meja.
“bu… Ini buku diarynya Wila. Tertinggal di meja” sambil menyodorkan diaryku kepada ibu. Ibu mulai membaca dari cover buku diaryku “kesedihanku–kebahagiaanku”. Ibu membaca diaryku dengan menitikan air mata. Karena aku menulis dari awal kubeli buku diaryku sampai akhir hidupku.

Inti Isi diaryku “ibu, aku kira ibu tidak peduli kepadaku. Aku melihat ibu hanya peduli dengan kakak saja. Tapi aku yakin ibu menyayangiku. Ibu… Aku sering menutupi tentang keadaanku. Aku selalu mimisan dan tidak pernah memberitahukanmu. Aku takut dan sedih jika ibu tahu. Aku baru sadar ibu peduli kepadaku saat aku mulai lemah. Tapi itu tak apa. Meskipun hanya akhir–akhir ini tapi aku yakin ibu sangat menyayangiku. Ibu, ayah dan kakak kalian harus tahu meskipun aku tak ada aku akan ada di dalam hati kalian”.

Kisah Perjuangan Seorang Ibu



Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang.

Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.

Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.


Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.

Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.

Dan kemudian berkata kepada ibunya: " Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata : "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa kesana".

Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya.

Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.


Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.

pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata : " Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.

Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna.
Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya" .


Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam- macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.

Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !".


Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.

Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi."

Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.


Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.

Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."

Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.

Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.

Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.

Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi."

Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar.

Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata: "Oh Mamaku...... ......... ...


Inti dari Cerita ini adalah:

Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan" Inilah kasih seorang mama yang terus dan terus memberi kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang mama demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses dimasa depannya. Mulai sekarang, katakanlah kepada mama dimanapun mama kita berada dengan satu kalimat: " Terimakasih Mama.. Aku Mencintaimu, Aku Mengasihimu. .. selamanya".

Sebaris Nyanyian dari Ibu



Ibuku malang ibuku tersayang…
Tatap matamu Satu,
seakan kasih sebening kaca.
Masa-masa duka,
Kau bangkitkan gaya jua
Dalam mengarungI gelombang samudra hidup ini.
Nasib tiada pernah kau ratapi
Kau terima dengan tabah
Kehidupan ini kau anggap bagai menggarap sawah
Dengan keringat sendiri kau tanamkan rasa harga diri.

Nyanyian itu tak akan pernah terlupakan olehku. Nyanyian yang mengingatkan aku akan ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur karena aku mempunyai seorang ibu yang berhati mulia, yang setiap malam selalu mengantar aku tidur sambil menyanyikan lagu itu, menasehati aku, memberikan aku pujian dan membuat aku bangga padanya karena ketabahan hatinya. Meskipun sering kali aku membuatnya kecewa tapi ibu tak pernah sedikitpun membesarkanya.

Dia tahu bagaimana yang seharusnya dia lakukan untuk memberiku semangat ketika aku merasa terpuruk, patah hati dan hilang kendali. Ibu adalah teman yang selalu mengisi hariku dan tempat berlabuh dimana semua kekesalan ku terobati. Ibu, aku rindu padamu...kapan kau akan menyanyikan lagu itu lagi? Kapan kau akan menjaga aku ketika aku tengah sekarat, dikala tak mampu untuk menyuap makanan. Kaulah penolongku ibu. Aku rindu semua itu. Biar sedewasa apupun diriku, jika berada di dekapmu aku merasa diriku seperti sepuluh tahun yang lalu. Merengek, manja dan selalu ceroboh.

Akhir-akhir ini, Aku tahu kau merasa  terkekang dengan sikap ayah, merasa dihianati, merasa tak dihargai. Aku tahu kau sangat prustasi. Sering kali dalam keluarga kita terjadi percecokan dan semua kesalahan selalu dilimpahkan padamu. Kau menerimanya dengan lapang meskipun kau tahu sendiri kalau itu bukan kesalahmu. Ayah tak tahu apa-apa tentang kasih sayang yang kau berikan kepada kami. Dia hanya bisa menuntut dan menuntut agar kita menuruti semua kemauannya dan jika tidak, kitalah yang dianggap tak tahu berterima kasih atas nafkahnya.

Kau tak pernah menyadarinya ibu, sehabis kau dan ayah bertengkar, aku tak pernah absen mengintipmu yang sedang menangis termangut-mangut dan kau sesekali menyalahkan dirimu sendiri. Ketika aku mulai terhanyut oleh tangisanmu, tanpa aku menyadari air mataku ikut menetes. Setitik, dua titik hingga mataku sembab.

Tak berakhir di situ. Semua orang mengejekmu, menghinamu karena kau dianggap tak berhasil dalam mengurus keluarga, karena kau disebut-sebut sebagai wanita jalang dan materialistis. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya pandai membuat masalah baru tanpa mengintropeksi diri mereka terlebih dahulu.

Aku jadi geram mendengar kata-kata mereka. Kalau saja mereka bukan keluarga dekat kita, ingin rasanya aku menghantam dan menjahit mulut mereka agar berhenti membuat gosip yang tak sedap mengenaimu. Bukanya aku tak berani membelamu, hanya saja mereka terlalu tua, dan bukankah ibu pernah menasehatiku, ”kalau ada orang yang berbuat nggak baik terhadap kita, kita harus diamkan karena karma masih berlaku di muka bumi ini Ka.” dan aku sangat, sangat menghargai nasehatmu itu.

Itu bukan sekali, dua kali kau mendapat perlakuan tidak baik dari mereka. Mereka memang nggak punya perasaan Bu, dan yang terakhir kau di fitnah berselingkuh hingga terjadi percecokan yang paling hebat dari yang sebelumnya. Sebegitu tak tahannya dirimu atas ketidakadilan tersebut, kau terpaksa pergi meninggalkan aku dan Deddy. Kau pergi tepat pada saat aku terjaga oleh mimpi meskipun tanpa nyanyian itu. Kau pergi pada tanggal 17 januari 2010, pukul empat ketika fajar belum tampak dari wajah bumi. Kau pergi dengan membawa luka serta kesedihanmu. Padahal tujuh hari sebelumnya, kita baru saja melangsungkan pesta ulang tahunmu yang ke-38.

Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat, kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat. Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah  jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.

Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya, adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu, sekarang  aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya aku karena memikul beban ini sendirian.

Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu, mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.

Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan selalu minta  kau rangkul.

Itu tadi beberapa kisah kumpulan cerpen tenatng Ibu yang diambil dari koleksi cerpenmu.com. Semoga cerpen cerpen tentang Ibu tadi membuat kita semua semakin menyayangi Ibu. Bahkan Nabi Muhammad memerintahkan kita untuk menyayangi Ibu kita 3 kali lipat lebih daripada kasih sayang kita kepada Bapak kita. Karena surga ada dibawah telapak kaki Ibu.
Kumpulan cerpen tentang Ibu ini admin persembahkan untuk sobat semua. Rasanya begitu haru ketika kita membaca kisah kisah tentang Ibu. Ya, siapa yang tidak punya Ibu, semua punya karena kita pasti dilahirkan dari rahim seorang wanita yang bernama Ibu. Selama sembilan bulan kita dikandungnya, dibawa kemanapun pergi, dijaganya dengan sangat baik dan kemudian dilahirkandengan taruhan nyawa. Setelah lahir kitapun dirawat dengan penuh kasih sayang, maka tepatlah jika ada pepatah yang menyebutkan kasih Ibu bagaikan mentari yang menyinari dunia ini yang tidak akan padam sedikitpun.
cerpen tentang ibu

Kisah kisah tentang Ibu pasti akan ada sepanjang zaman ini masih ada. Akan tetapi tak semuanya kisah itu manis, ada juga kisah kisah yang memilukan. Misalnya saja kisah Malin Kundang anak yang durhaka, bagaimanamungkin seorang anak bisa mencampakan seorang Ibu, maka sudah tepat bila akhirnya si Malin Kundang dikutuk jadi batu, akan tetapi memang hati Ibu akan selalu penuh kasih sayang pada anaknya, sang Ibu pun menyesali kutukannya yang diucapkan kala emosi itu. Ibu Malin Kundangpun menyesali kutukannya tersebut, ini bukti bahwa sejahat apapun seorang anak, kasih sayang seorang Ibu tidak akan pernah padam. Dan berikut adalah beberapa kisah kumpulan cerita tentang Ibu.

Ibu Maafkan Aku

Aku adalah mahasiswa baru yang baru setahun masuk dan sekarang lagi ada Ujian Semester. Aku yang selalu hidup bersantai santai dan mulai jarang pulang ke rumah bermain dengan teman sampai tak kenal waktu sehingga membuat ibu selalu cemas dan khawatir. Hidupku saat ini sungguh seperti anak muda jaman sekarang banget. Ibu hanya dianggap sepele seperti pembantu saja. Berangkat kuliah pulang malam, hari libur tidak ada di rumah kelayapan kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. Yah begitulah…

Kemuadian, di siang yang cerah saat di ruang kampus aku duduk termenung sendiri menunggu mata kuliah berikutnya. Tiba-tiba datang seseorang mengagetkan aku dengan membawa kabar duka, yaitu Dewi teman sekelasku sekaligus tetangga ku juga. “Rama.. Rama.. Ibumu.. Ibumu..” Berbicara dengan nafas yang tersenggal-senggal karena habis berlarian menghapiriku. “Iya.. iya.. ada apa dengan ibu ku?” Tanyaku bingung dan khawatir. “Itu.. Ibumu kecelakaan..” “Apa…? yang benar kamu Wi?” Tanyaku terkejut. “Iya beneran, Barusan aku ditelpon Ibuku di rumah suruh ngasih kabar ke kamu!” “Apa..” Mataku terbelalak mendengar itu.

Bagai petir yang menyambar pohon yang rapuh, dah pohon itu pun tumbang. Seperti itulah perasaananku saat itu, tak karuan bingung harus melakukan apa dan tanpa pikir panjang lagi ku dengan secepat kilat pulang menuju rumah tak peduli walau itu masih ada jam kuliah yang harus aku ikuti karena adanya Ujian Semester.

Setelah ku berlari dari kampus yang tak jauh dari rumah dan akhirnya sampai, dan di rumah kulihat banyak orang berkumpul di rumah ku, sehingga membuat ku khawatir dan tak tenang. Ku berhenti sejenak dan mulai berpikir negatif akan apa yang terjadi pada ibu ku, seakan ku kehilangan sesuatu yang berharga di dunia ini, dan mulai ku melangkah perlahan lahaan untuk memastikan bahwa itu tidak benar, tapi sebelum sampai masuk rumah dan mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, tubuh ini serasa ringan tapi begitu berat untuk ku terus melangkah, dan mendengar suara samar samar orang yang lagi berbicara tapi setelah itu sudah tak terdengar lagi seakan ku mulai terputus dengan dunia ini.

Setelah beberapa menit aku pingsan tepat di depan rumah dan dibawa masuk oleh warga, ku mulai sadarkan diri lagi dan melihat Dewi di samping ku menemaniku dari tadi. “Aku dimana ini?” Tanya ku pada Dewi. “Di rumah mu Rama, di kamarmu ini..” jawab Dewi lirih. “Oh iya, dimana ibuku? Gimana kadaan Ibuku? Aku harus menemuinya!” sambil berdiri dan menuju pintu, tapi secepat aku berdiri secepat pula Dewi meraih tangan ku dan menarikku untuk duduk dan menenangkan diri dulu, tapi karena aku sudah sangat khawatir akan keadaan Ibu aku tetap memaksa untuk keluar kamar dan menemuinya, dan saat ku membuka pintu kulihat sesosok tubuh yang di balut oleh kafan putih dan tertutupi oleh selendang batik, sontak aku langsung membuka penutup itu dan… Aku pun tak sadarkan diri lagi setelah melihat wajah Ibunya yang sudah tak bernyawa lagi. Di waktu yang sama Ayah ku juga baru sampai rumah yang juga tergesa-gesa pulang mendengar kabar duka tersebut, karena tempat kerja Ayah ku jauh jadi agak lama untuk menuju ke rumah, sedangkan aku di bawa masuk lagi ke kamar karena belum sadarkan diri juga.

Di saat aku pingsan pemakamanpun mulai dilanjutkan lagi, karena Ayah sudah datang beserta sanak keluarga yang sudah menunggu dari tadi, dan karena sudah dimandikan sebelumnya jadi tinggal untuk di sholatkan dan segera untuk dimakamkan.

Kali ini pingsan ku lebih lama dibandingkan yang pertama tadi, ku baru sadar kembali setelah beberapa jam setelah kejadian itu. Saat itu pemakaman sudah kelar semua dan warga sekitar beserta saudara sedang mengadakan tahlilan untuk Ibuku, karena sudah tradisi di desa ini, apabila ada orang yang meninggal akan ada tahlilan atau selamatan bagi si almarhun.

Setelah ku tersadar, ku coba untuk duduk dan merenungkan apa yang sudah menimpa ku hari ini, ku benar benar kehilangan seseorang yang paling berharga di dunia ini, seseorang yang selalu ada di setiap jalan hidup ku sampai saat ini, yang selalu sabar dengan semua tingkah lakuku yang sering menyusahkannya dan sekarang sudah tiada.
Ku sedih dan meneteskan air mata yang sebelumnya tak pernah ku lakukan karena ada masalah, tapi ini benar-benar meremukkan hati dan jiwa raga ini. Tiba-tiba ku mendengar suara lirih untuk menguatkan aku. “Rama.. kamu yang sabar yah, semua ini pasti ada hikmahnya.. jadi janganlah kamu menyesali semua ini, semua yang hidup pasti akan mati dan kembali ke Rabbnya..” bujuk Dewi agar ku sedikit tenang, tapi ku masih termenug dan terdiam menyesali semua ini. “Dewi apakah ini hukuman bagiku karena telah menyusahkan dan mengecewakan Ibuku?” Tanya ku sambil menahan air mata yang tak kunjung berhenti ini. “Hm.. Jangan berpikiran beitu Rama, mungkin ini sedah takdir Ibumu dan cobaan bagimu Rama.. jadi tetep bersabarlah..”. “Tapi mengapa harus Ibuku..?” Dengan ekspresi tidak terima dengan semua ini. “Tenaglah Rama.. Sabar..” Dewi mencoba menenankan ku. “Sabar bagaimana.. Melihat Ibuku yang tidak salah apa-apa harus mengalami kejadiaan ini.. Mengapa Dew.. Mengapa? Tolong Dew, Citakan pada ku kejadiannya, ku ingin tahu..” pintaku ke Dewi untuk mengetahui kenapa sampai ini terjadi.

Dan akhirnya Dewi pun menceritakannya, “Begini Rama.. kau tahu hari ini hari apa?.. ini adalah hari ulang tahunmu kan.. Mungkin tidak begitu banyak orang yang mengetahuinya, tapi Ibumu selalu mengingatnya Rama..”. “Trus apa hubungannya dengan kejadian ini?” tanyaku penasaran. “Tadi ku sempat dengar cerita dari ibuku.. Ibumu tadi pagi begitu semangat untuk merayakan Ultahmu, Ibumu ke luar rumah untuk ke pasar membeli bahan-bahan buat nasi kuning kesukaanmu, pas di jalan ibuku bertemu dengan Ibumu dan meyapanya tapi saking senang dan semangtnya sampai sampai tak mendengar sapaan ibuku pagi tadi, padahal biasanya Ibumu selalu menyahutnya apabila ada yang menyapanya tapi kali ini memang sungguh aneh.. tapi pada akhirnya Ibumu dan Ibuku jalan bersama untuk ke pasar dan mengobrol. Dan Ibuku sempat bertanya pada Ibumu “Bu.. tumben nih hari beda dari biasanya.. lebih bagaimana gitu?” Tanya Ibu Dewi. “Beda gimana Ibu? Biasa saja ini.. Cuman saya lagi senang saja karena ini hari Ultah anakku, tadi pagi sebelum berangkat kuliah dia ingin minta di bikinin Nasi Kuning kesukaanya Bu..” jawab Ibuku. “Oh begitu ya Bu.. Ada-ada saja Rama itu.. (Sambil tersenyum) .. Ada yang bisa saya bantu Bu?” “Oh trima kasih Bu… tapi saya bisa tangani sendiri kok Bu..”. “Oh begitu ya Bu..”. Kemudian mereka pun pulang bersama karena bahan yang di beli serasa sudah cukup.”

Sesampainya dirumah Ibumu langsung masuk rumah dan mulai memasak, tapi tak tahu kenapa Ibumu keluar lagi dengan tergesa-gesa. “Lho Bu mau kemana lagi..?” Tanya Ibu Dewi yaag baru mau masuk rumah. “Itu ada yang kurang Bu, ini mau balik lagi ke pasar beli bahan yang kurang itu..” jawab Ibuku sambil tersenyum. Dan tiba-tiba terjadilah tragedi itu. “CIIITTT… BRUUAAKKK…” Suara mobil yang oleng, dan pada saat itu Ibu mu yang baru saja keluar rumah lalu mulai berjalan di tabrak oleh mobil yang oleng tadi, penyebabnya karena mobil itu bannya pecah.. kejadiaanya sangat cepat jadi Ibuku tak sempat memperhatikan itu.. dan yang sangat disesalkan Ibuku saat itu adalah Ibumu tak sempat di selamatkan karena pendarahan yang cukup parah di kepala sehingga meniggal di tempat..”.

Setelah mendengar kejadian itu ku mulai menangis lagi dan lebih parah sebelumnya, tangisan ini lebih berat dan menyakitkan hati sampai air mata ini tak dapat lagi di keluarkan. Dan saat itu pulalah ku berdoa dan meminta serta berjanji pada Allah dalam hati.. “Ya Allah.. maafkan lah hambamu ini, ampunilah dosa hambamu ini yang selalu mengecawakan dan menyusahkan Ibu hambamu ini.. Aku berjanji akan menjadi anak yang lebih baik lagi, lebih berbakti lagi kepada Ibu Ya Allah, Hambamu mohon janganlah Engkau ambil Ibu, kembalikan Ibu Ya Allah..”
Tiba-tiba ku mendengar suara yang cukup keras tepat di telingaku, sehingga membuatku terkejut kaget mendengarnya. Dan akhirnya aku terbangun dan tersadar bahwa aku sedang dibangunkan oleh Dosen yang galak, karena aku tertidur dan tak bangun di atas bangku. Sontak ku bangun dan terdiam karena di omeli Dosen tersebut, dan setelah itu Ujian Semester di lanjutkan lagi. Tapi ada perasaanku yang masih mengganjal di pikiranku, tapi masih begitu samar-samar karena masih kaget karena suara Dosen tadi yang cetar membahana itu.

Dan akhirnya Ujian selesai dan ku ketemu dewi saat keluar kelas, saat itulah tiba-tiba saja air mata ku menetes entah kenapa dan mulai mengingat mimpi yang seperti kenyataan itu tadi. Dan akupun segera pulang untuk memastikan mimpi itu benar atau salah. Dan sesampainya di rumah aku benar-benar bersyukur melihat ibuku masih sehat-sehat saja sedang memasak di dapur, kemudian ku peluk Ibu dan meminta maaf padanya karena kelakuanku akhir-akhir ini.

Mimpi itu benar-benar jadi pelajaran buat ku bahwa Ibu adalah seseorang yang sangat berharga dan tak tergantikan oleh apapun. Mulai saat itu aku merubah gaya hidupku yang berantakan dan terkesan ugal-ugalan menjadi lebih baik.

Maafkan Aku Bunda


Aku berada di sebuah taman hijau yang indah dipenuhi dengan bunga-bunga merah yang bermekaran, di tengahnya ada kolam air bundar yang penuh dengan susu coklat yang sangat menggiurkan, di samping kolam itu ku temukan pantai dengan air yang biru, aku berlari menuju pantai dan masuk ke dalam airnya, “begitu sejuknya air ini” ucapku. Tapi aku berenang terlalu jauh dan aku mulai lelah, tiba-tiba tanganku tak lagi bisa ku gerakkan begitu juga dengan kakiku. Aku kehilangan kemampuanku untuk berenang. Perlahan tubuhku masuk ke dalam air yang begitu dalam aku berusaha minta tolong tapi tak seorangpun yang ada di sekitarku. Aku bingung, aku melonjak-lonjakan kakiku berusaha berenang tapi aku tak bisa. Aku mulai kehabisan napas, mulut dan hidungku penuh dengan air. “Tuhan bantu aku” aku berdoa dalam hati.
Tiba-tiba…
Byuuurrr. Seember air menyiram mukaku…
“Liat jam tuh, mau libur kamu sekolahnya hari ini, kalau masalah bangunin kamu kalau gak kayak gini gak akan berguna” ucap Bundaku marah.
“Iya bun, bentar lagii!” jawabku.

“Liat jam tuh, mau dihukum sama Pak Joe lagi”
Dengan mata yang masih ngantuk aku menatap jam di dinding kamarku.
“HAH, udah jam delapan?”
Aku bergegas menuju kamar mandi. Dengan sabarnya Bundaku menyiapkan buku dan seragam sekolahku.
Selesai mandi aku segera bersiap, tanpa mencium tangan bundaku aku berangkat menuju sekolah.
“Jangan lupa makan Naa, uang jajan kamu udah bunda tambah buat kamu makan di sekolah!” ucap Bundaku dari jauh.
“Iyaa bun” Jawabku.

Sesampainya di sekolah, guru ekonomi yang paling tidak pengertian menurutku sudah berada di dalam ruangan. Dengan sedikit omelan aku diperbolehkan untuk mengikuti pelajaranku hari ini.
“Anak-anak sekarang kumpulkan buku kalian” ucapnya.

Aku membuka tas ranselku dan mencari buku Pr Ekonomi ku, tak ku temukan buku itu dimanapun. “Pasti bunda lupa sama buku Pr-ku, ini nih susahnya punya Bunda gak sekolah” gumamku marah. Aku kesal karena Bundaku lupa dengan Pr yang sudah susah-susah aku kerjakan. Aku minta izin keluar dan segera menelpon bundaku.
“Iyaa Naa, ada apa?” Jawab Bundaku di ujung telpon.
“Bunda lupa sama Pr Naa yaa, bunda gak tahu sih tadi malam Naa begadang buat ngerjain Pr itu, kalau sekarang gak dikasihin sama Bu Guru, Naa gak dapat nilai trus gak naik kelas kalau sampai Naa gak naik kelas itu gara-gara Bunda ya, kalau tau bakalan kayak gini mending Naa gak masuk aja dari tadi, atau sekalian Pr-nya gak Naa kerjaiin, Bunda sengaja ya mau bikin Naa gak naik kelas biar kita sama, Naa gak mau sama kaya Bunda. Naa mau pintar gak mau bodoh kayak Bunda, aku gak mau punya anak tanpa ayah sama kayak bunda”
“Naa, bunda minta maa…”

Tuuuttt… tuuuttt… Aku menutup telponnya setelah puas melimpahkan kekesalanku dengan Bundaku. Aku tak peduli bagaimana dengan keadaan bundaku di rumah.
Hari itu aku tidak masuk kelas lagi, aku bolos dengan beberapa temanku. Kami pergi ke pantai dekat dengan sekolahku. Kami di pantai sampai sore, malam ini aku juga tidak pulang ke rumah aku menginap di rumah temanku. HPku ku matikan agar tak ada gangguan dari siapapun.
Esoknya aku pulang ke rumahku dengan perasaan puas karena telah melampiaskan kekesalanku kepada bundaku. Sesampainya aku di rumah aku berharap bundaku akan meminta maaf kepadaku.
Namun apa yang aku dapatkan sangat berbeda sekali dengan apa yang aku harapkan. Entah mengapa banyak orang yang berada di rumahku. Aku bingung namun aku tetap masuk ke rumahku. Pandangan semua orang menuju kepadaku, ada apa gerangan pikirku.
“dari mana saja kamu!” Tanya pamanku padaku.

“Suka-suka aku dong, kaki aku ini, ngapain kalian di rumahku, pulang sana!” jawabku marah.
“KAMUUU!” jawab pamanku lagi sambil mengepalkan tangaannya.
“Yandi, sudah! dia masih anak-anak” sebuah suara lirih menyehut dari dalam kamar Bundaku. Aku menjulurkan lidahku memperolok pamanku.
Aku masuk ke kamar bundaku, aku berharap bundaku akan meminta maaf karena telah membuatku ketinggalan Pr-ku. Namun tak ku temui bundaku di kamar itu yang ada hanya Nenek-ku dan beliau menyerahkan sebuah surat padaku.
“Ibumu pergi Naa, sebaiknya kamu baca surat darinya” ucap nenekku sambil membelai lembut rambutku.
Dear anakku yang ku sayangi..

Maaf Naa, bunda gak bisa jadi bunda yang baik buat kamu. bunda juga minta maaf gara-gara bunda Pr Naa telat dikumpulnya.. bunda sudah antar Pr Naa ke sekolah, bunda juga sudah ngomong sama Guru Ekonomi Naa, dan dia mau nerima Pr Naa. Bunda nyesaalll banget Naa, gara-gara bunda juga Naa jadi dimarahin sama bu Guru coba Bunda bangunin Naa lebih pagi..? masalah Naa gak punya ayah itu gak bener Naa, ini Bunda pergi ke Semarang buat jemput ayah Naa. Nanti bunda kenalin sama ayah kalau Naa sudah gede. Mungkin Naa bisa mengerti kenapa bunda gak pernah ngasih tau Naa tentang ayah Naa. Bunda sudah nitipin Naa sama nenek, makanan buat seminggu ke depan juga sudah bunda siapin. Baik-baik sama nenek yaa Naa! Bunda sayaaanggg Naa..
Ciuman sayang dari bundamu ..:*
“Emang ayah Naa kenapa nek koq bunda gak pernah ngasih tau Naa” tanyaku perlahan pada nenekku.
“Ayah Naa sakit makanya dirawat di rumah sakit” jawab nenekku.
“Trus kok di rumah rame nek, mau nyambut kepulangan ayah yaa..”
“Nanti Naa juga tau” jawab nenekku singkat.

Malam ini aku tak bisa tidur nyenyak aku mengingat bundaku. Aku tidur ditemani nenekku.
“Naa, Naa sayang gak sama bundanya?” Tanya nenekku.
“Gak nek soalnya bunda gak pernah ngasih tau Naa siapa ayah Naa, Naa kan malu diejek sama teman-teman” jawabku.
“Naa mau nenek ceritain gak tentang ayah Naa?”
“Mau nek..” jawabku mantaapp.

“Ayah Naa itu seorang pelaut makanya ayah Naa jarang pulang, ayah Naa mengemudikan sebuah kapal besar. Ayah Naa sering keluar negeri”
“Artinya ayah pernah ke Eropa dong Nek” sahutku dengan penuh kekaguman.
“Iya Naa, ayah Naa juga sudah keliling Dunia, ayah Naa lelaki yang sangat hebat”
“Trus kenapa ayah gak pernah nengok Naa nek”
“Mungkin Naa udah lupa ayah Naa sering gendong Naa waktu Naa kecil”
“Trus kenapa ayah sekarang gak pernah nemuin Naa lagi nek?”
“Naa, semua hal gak selalu berjalan baik, suatu hari kapal ayah Naa dihantam badai besar dan ayah Naa menghilang ditelan lautan, sampai kemarin ada yang nelpon Bunda Naa katanya ayah Naa ditemukan di daerah Semarang, ayah Naa hilang ingatan sehingga harus dijemput, Bunda Naa langsung pergi jemput ayah Naa kesana,”
“trus kenapa di rumah ada tahlilan nek?”
“Untuk itu Naa harus sabaaarr ya sayang”

Aku berlari menuju nisan Bundaku. Aku menangis sejadi-jadinya di depan nisan itu berkali-kali ku ciumi benda putih itu tanpa bisa berkata apa-apa. Kata-kata nenekku malam masih membekas di hatiku. Nenekku juga menitipkan sebuah buku harian Bundaku kepadaku. “Bundamu kecelakaan sepulangnya dari mengantarkan Pr mu ke sekolah Naa, karena bundamu harus lekas ke bandara untuk pergi menyempatkan pesawat yang dipesannya, karena tergesa-gesa mobil bundamu menabrak tiang listrik, sehingga menyebabkan pendarahan yang sangat hebat di kepalanya”
“kenapa gak nunggu Naa nek?” jawabku terisak.
“Naa ditunggu beberapa jam gak datang, dihubungin gak aktif, trus ke sekolah gak masuk sedangkan darah yang mengalir di kepala bundamu gak berhenti makanya kami dari pihak keluarga memutuskan untuk memakamkannya segera, maafkan nenek Naa”
Cerita itu masih membekas di kepalaku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan malam itu.
“Ini Naa nenek menemukan diary ini di lemari bundamu”

Aku buka lembar diary itu satu persatu dan aku menemukan jawaban semua pertanyaanku.
Aku kecewa kenapa anakku sendiri harus begitu marahnya padaku. Aku gak memberitahu siapa ayahnya karena aku takut dia malu karena ayahnya seorang yang terkena gangguan jiwa. Aku takut dia malu, biarlah aku yang menanguung sakit hati ini asalkan dia bisa tersenyum sepanjang hari, itu sudah cukup mengobati sakit hatiku…
Hari ini aku bersikap tegas terhadap Naa, bukan karena aku tak sayang padanya tapi aku ingin dia lebih dewasa dalam menjalani hidupnyya, aku ingin dia lebih teratur lagi…

Cukuplah aku yang kecewa karena tak mendapatkan apa yang aku inginkan asalkan Naa mendapatkan semuanya.
Ku peluk buku kecil itu namun itu tak bisa menggantikan Bundaku yang teramat hebat. 17 tahun aku membenci Bundaku, namun seumur hidupku harus ku relakan untuk menyesali kebencianku kepadanya. Yaa, aku sangat menyesali apa yang telah aku lakukan dulu sampai saat ini dan itu karena aku kehilangannya.

Sajadah Buat Emak


Endraaa, mandi!” Emak memanggilku. Kutinggalkan lapangan. Itulah tempat bermainku dan kawan-kawan. Tidak luas sih, tapi cukuplah bagi kami bermain kejar-kejaran sampai badan dan baju basah kena keringat.
Tak ingin Emak memanggilku untuk kedua kalinya, aku berlari menuju halaman belakang rumah. Tidak langsung pergi mandi sih, badanku masih basah dengan keringat. Nih, malah ada keringat menetes dari sela-sela rambutku, mengalir turun sampai leherku. Lagi pula kata Emak kalau badan masih berkeringat sebaiknya tidak buru-buru mandi. “Nanti malah sakit. Tunggulah sebentar sampai suhu badanmu normal. Tidak kaget jadinya waktu kena air,” begitulah nasihat Emak.

Wah, seru sekali permainan kami hari ini. Begitu serunya hingga waktunya shalat Maghrib tiba masih saja aku ingat betapa hebat cara kami saling menjatuhkan menara. Bukan menara betulan lho, melainkan pecahan-pecahan genting tanah liat yang kami tumpuk hingga setinggi lutut anak kecil. Kami bermain dalam dua kelompok berlawanan. Masing-masing kelompok punya satu menara yang harus di jaga dari kelompok lain. Jika menara berhasil dijatuhkan hingga tak ada lagi sisa pecahan genting yang bertumpuk, maka kelompok yang menjatuhkan menara tersebut memenangkan permainan. Coba kalau tadi Emak tidak memanggilku, pasti kami masih asyik bermain.
Saat hendak mengambil air untuk wudhu, ku lihat wajah Emak yang letih. Mungkin cucian baju Emak sangat banyak hari ini. Kalau saja aku dapat membantunya. Sayang, tempat Emak bekerja jauh sekali dari sini. Emak juga melarangku ke sana.

“Emak malah khawatir kalau Endra nyusul Emak ke sana. Endra kan masih kecil. Sudahlah, yang penting Endra belajar yang rajin, shalat yang rajin, ngaji juga yang rajin, ya! Pokoknya Endra harus jadi anak pintar, tawakal, dan berbakti kepada negara. Janji sama Emak, ya.” Yah, kalau Emak sudah bilang begitu, aku hanya bisa mengangguk. Tapi dalam hati aku berjanji, pada Emak juga diriku sendiri, pasti aku akan rajin melakukan semuanya itu. Aku ingin Emak bangga dan bahagia melihat usahanya memasukkanku ke sekolah luar biasa tidak sia-sia. Walaupun aku tidak bisa bicara dengan mulutku, aku akan bicara dengan karya dan kerjaku.
“Endra, ayo shalat dulu. Kok bengong?” tegur Emak lembut sambil tersenyum. Kubalas senyum Emak. Tak lama kemudian, aku dan Emak shalat Maghrib di mushala yang letaknya agak jauh dari rumah.

Dalam shalatku, muncul keinginan melihat Emak shalat di rumah beralaskan sebuah sajadah yang indah. Lho, kok? Ah, sudah-sudah, shalat yang benar. Pikiranku kok ke mana-mana sih? Selesai shalat, terlintas lagi keinginan itu. Iya, ya, Emak kan sekarang tidak punya sajadah, pikirku ketika itu. Memang, kalau hujan deras dan kami tidak bisa shalat di mushala ini, Emak dan aku terpaksa menggunakan selembar kain putih kecil yang lebih tepat di sebut sebagai sapu tangan sebagai ganti sajadah.

Emak pernah punya sajadah. Tapi untuk keperluan sekolahku, Emak menjual sajadah dan rukuhnya. Akhirnya, sebisa mungkin kami selalu shalat di mushala atau masjid sehingga Emak bisa meminjam rukuh yang disediakan di sana dan tak perlu khawatir dengan sajadah.

Nah, seminggu yang lalu Emak di beri rukuh oleh seorang ibu yang di rumahnya Emak biasa mencucikan baju. Emak kelihatan senang sekali. Sekarang tinggal sajadahnya. Ah, aku ingin sekali melihat Emak shalat dengan rukuh dan sajadahnya sendiri. Kalau saja aku boleh ikut teman-teman yang lain menyemir sepatu atau mengamen di jalan. Tapi aneh juga sih, kalau mengamen bagaimana caraku menyanyi? Aku kan tuna wicara. Alat musik juga seadanya. Semir sepatu juga butuh uang untuk membelinya. Belum lagi kalau ketahuan Emak aku bekerja di jalanan. Aduh… pusing deh. Lalu dari mana aku dapat uang untuk beli sajadah?

Usai shalat di mushala, kami kembali ke rumah. Ku buka lemari pakaianku untuk mengganti sarung dengan celana panjang. Mataku tertuju pada selembar karung terigu warna putih yang sudah di cuci bersih, setumpuk pakaian warna-warni yang sudah tidak muat lagi, gunting, benang dan jarum jahit. Aha! Sepertinya aku dapat ide!
22 Desember, kira-kira tiga bulan kemudian, ideku sudah selesai dilaksanakan. Pakaian kekecilan yang berwarna-warni kuguntingi membentuk masjid dan hiasan-hiasan lain lalu kujahit di atas karung terigu. Tak sabar rasanya menunggu Emak pulang sore ini.

Azan Maghrib berkumandang ketika Emak pulang dan tersenyum melihatku menunggunya di depan pintu. Dan ketika sudah waktunya kami ke mushala, aku berpamitan untuk pergi mendului ke mushala untuk shalat Maghrib sambil menitipkan sepucuk surat. Emak yang bingung melihat tingkahku hanya melongo. Ah, aku grogi nih, dag-dig-dug rasanya debaran jantungku. Aku ingin agar Emak lebih dulu membaca suratku sebelum membuka kejutan yang kusiapkan.

“Emak, terima kasih, ya, sudah menyekolahkan Endra. Tapi Endra sedih waktu Emak harus jual rukuh dan sajadah untuk bayar sekolah. Mak, sekarang kan Emak sudah punya rukuh, tapi belum punya sajadah. Endra ingin sekali lihat Emak pakai sajadah. Tapi Endra nggak punya uang untuk beli. Karena itu Endra bikin sendiri. Semoga Emak suka. Selamat Hari Ibu, ya, Mak. Endra sayang deh sama Emak. Hatur nuhun, Emak. Dari Endra, anak Emak yang paling ganteng hehehe…”
Dari balik pintu ku lihat Emak terkejut membaca tulisanku. Aduh, Emak kok malah nangis ya? Aduh, memangnya tadi aku nulis apa sih? Atau hasil karyaku jelek buat Emak? Ah, sudahlah, tunggu saja di sini, batinku.

Tak lama kemudian Emak keluar dan mendapati aku yang berdiri di balik pintu. Emak berlutut dan menciumiku sambil menangis sembari mengucapkan terima kasih berulang kali. Senangnya hatiku, tidak sia-sia kukorbankan waktu bermainku selama tiga bulan ini.
Hari itu hari yang paling indah bagiku. Melihat senyum Emak terasa seperti surga buatku meski hingga kini aku masih tidak tahu seperti apa dan di mana surga itu berada. Sajadah itu pula yang menjadi kenanganku dengan Emak sebelum Pemilik Surga memanggilnya. Selamat jalan, Emak.

Mama Jangan Pergi


“Raka…raka…!” teriak mama yang memeanggil Raka. tapi Raka tidak memperdulikannya, ia malah asyik main PS.
“Raka, cepet mandi, setelah itu belajar!”
“enggak aahh mah males nanti dulu.”
Jam dinding pun menunjukan pukul 20.00, akhirnya Raka pun berhenti bermain PS, dan lekas mandi. Setelah mandi dia langsung tidur bukannya belajar, hal ini yang selalu membuat mama ngomel terus ke Raka.
Mama pun masuk ke kamar Raka.

“Raka kok malah tidur? bukannya besok kamu ada ulangan Matematika? tanya mama yang penuh perhatian kepada Raka, “enggak aah mah males, Raka ngantuk mau tidur aja.!” jawab Raka ketus.
“ya sudah mungkin kamu lelah, istirahat saja ya nak, besok kan sekolah” kata mama lemah lembut.
mama pun keluar dari kamar Raka dan segera masuk ke kamar nya.

Tiba tiba saat di kamar penyakit jantung mama kambuh, mama sudah mengida penyakit jantung selama 5 tahun yang lalu, tapi mama dan papa Raka tidak pernah memberi tahu Raka,karena takut Raka sedih, soalnya Raka anak satu satu nya.
Esok hari Raka pun pergi sekolah, dengan wajah ceria, padahal tadi malam dia tidak belajar untuk menghadapi ulangan nanti.
Kring… Kring… Kring… bell masuk sekolah.
Saat nya pelajaran Matematika, Pak Agus pun masuk.

“anak anak sekarang kita ulangan, siap tidak siap keluarkan alat tulis kalian”
“Aduh gimana nih, aku kan belum belajar tadi malam. aaahh bodo amatlah nanti tang ting tung aja, gampangkan” pikir Raka dalam hati.
selama ulangan berjalan Raka hanya menjawab asal asalan, setelah selesai, ulangan dikumpulkan. Pak Agus pun langsung mengoreksinya.
“Tedyuko Chan, kamu dapat 100, Nicholaus Fernando kamu dapat 9.8, Izumi Akasi Lee kamu dapat 9.6, Kohasi Atari kamu dapat 8.9, Keenan Willson kamu dapat 8.4, Raka Emmanuel………………. kamu dapat 3.2″ seru Pak Agus panjang lebar.
“HAAAAAAAAAH, Aku dapat 3.2?” Raka pun terkejut.

Kring… Kring… Kring… bell pulang sekolah, anak anak SD Christian School International pun pulang, ada yang naik jemputan, dan ada pula yang di jemput orangtua nya. Raka yang biasanya di jemput papa nya, kali ini papa nya jemput agak lama.
“aduh papa mana sih? udah tau kan panas!” keluh Raka.
Tak lama kemudian mobil papa nya Raka pun datang.
“Raka ayo cepat masuk mobil!” pinta papa.
“iya pa” jawab Raka singkat.

Selama perjalanan papa hanya diam saja tidak seprti biasanya. Hal ini membuat Raka bingung.” papa kenapa ya? biasanya setelah aku pulang sekolah pasti papa nanya apakah ada PR (Pekerjaan Rumah) atau tidak.” Pikir Raka dalam hati.
Sesampai di rumah,hal ini membuat Raka bingung, kenapa ada bendera kuning di depan rumahnya, dan banyak sekali orang yang memakai baju hitam.
“Pa ada apa ini? kenapa pada pakai baju hitam? dan di depan rumah juga ada bendera kuning.?” Tanya Raka.
papa terdiam sejenak dan akhirnya menjelas kan semuanya. kalau mama nya telah pergi untuk selamanya. Raka pun langsung berlari dan menemui jasad mamanya.
“ma….. mama jangan pergi,jangan tinggalin Raka ma… Raka enggak mau sendiri, maafin Raka ma… atas semua salah Raka, Raka janji enggak akan ulangin lagi.. hiks…. hiks.. hiks… maaa…. mama…” begitulah tangis Raka.
Raka masih sangat kehilangan mamanya, dia pun berjanji akan rajin belajar unyuk mamanya senang di surga sana!
“ma, mama adalah perempuan paling istimewa dihati Raka, Raka janji akan belajar supanya mama senang disurga sana! I LOVE U Mom, aku akan selau merindukan mu, selamat jalan ma!” Tangis Raka yang tak henti henti.

Ternyata Ibu Perduli


Namaku wilania. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Umurku kini 15 tahun. Aku tinggal dengan keluarga yang berkecukupan. Ayahku bernama Jaenal, beliau berumur 49 tahun. Ayahku sudah dua tahun bekerja di Jepang sebagai businessman dan ia pulang ke rumah hanya tiga bulan sekali. Lalu ibuku bernama Ayira, beliau berumur 44 tahun. Dan kakakku bernama Meiriska Hanna, dia berumur 17 tahun.

Hari semakin gelap dan hujan turun membasahi kami yang sedang menunggu jemputan. Menunggu sampai sore dan akhirnya jemputan kami datang. “huh… Gimana sih pak. Kok lama banget datangnya?” tanya kak Hanna, panggilanku untuknya. “iya… Maaf mba, tadi ban mobilnya bocor”. Jawab pak Karim, sopir pribadi keluarga kami. Setelah beberapa menit di perjalanan menuju rumah, akhirnya tiba juga di rumah. “ibu… Kita pulang” teriakku sambil mencari ibu. “wah… Hanna gimana ujiannya? Kamu bisa mengerjakannya?” tanya ibu sambil menarik tangan ka Hanna. “bisa bu… Ya ada yang bikin bingung juga sih bu. Tapi aku bisa menyelesaikannya kok” jawab kak hanna dengan gembira. Aku mendengarkan mereka berbicara dan bercanda. Karena aku merasa seperti tidak ada di hadapan mereka, aku meninggalkan mereka dan masuk ke dapur untuk mencari makanan. Aku melihat meja makan yang kosong, tidak ada makanan yang disediakan. “ibu… Kok ga ada makanan? Aku kan laper bu, habis ujian” sindirku kepada ibu. “iya wila… Ibu ga masak. Kamu mesen aja di luar” seru ibu dengan teriakannya. Saat ku telepon Pizza Hut untuk memesan pizza, tiba-tiba ibu datang ke dapur dengan menggandeng kakak. “wil pesennya dua yah, buat kakakmu juga. Kasian tadi dia kebingungan ngisi kertas ujiannya” pinta ibu kepadaku sambil memberi kakak minum. Selesai menelepon, aku pergi ke kamar. Kubuka buka catatan diaryku yang pertama kubeli. Aku menulis kejadian yang sangat menyedihkan dan membahagiakan.

Setelah setengah jam aku menunggu pesanan, akhirnya datang juga pesanan yang kupesan itu. “tok… Tok..” Terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Kuhampiri ruang tamu untuk membukakan pintu tapi ibu sudah membukakan pintu itu. Setelah ibu memberi uang kepada pengantar pizza, ia memberikan pizza tersebut kepadaku. “nih, pizzanya. Jangan lupa kakakmu kasih” “iya bu..”. Aku langsung pergi ke dapur dan memanggil kak Hanna. “kak… Pizzanya udah datang nih. Buruan ke meja makan” panggilku kepada kak Hanna. Kemudian kak Hanna keluar dari kamarnya “Wil, punyaku mana? Yang ini atau yang itu?” Sambil menunjuk dua pizza tersebut. “yang mana aja kali kak. Kan sama aja rasanya” jawabku. “kakak kira kamu pesen yang beda rasa sama pizza kakak. Jadi kakak tanya dulu” jelas kak Hanna. “bu… Mau pizza ga nih? Aku sisihin ya” teriak kak hanna memanggil ibu. Karena suara kak Hanna sangat keras, ibu langsung menghampirinya “ada apa sih Hann?” Tanya ibu kepada kak Hanna. “ibu mau ga? Nih aku sisihin” tanya kak hanna kepada ibu. Setelah aku menghabiskan pizza itu sendirian, tiba–tiba kepalaku pusing dan mengeluarkan darah dari hidungku. “Wil? Kamu kenapa. Ada darah di hidungmu” tanya kak Hanna kepadaku. Tak sempat kujawab pertanyaannya, aku langsung tak sadarkan diri.

Mataku mulai terbuka melihat ke sekeliling ruangan. “aku dimana?” Gumamku. “Wil gimana keadaanmu?” Tanya seseorang yang ada di sebelah kananku. “kak Hanna.. Ini dimana kak?” Tanyaku. “rumah sakit… Tadi kamu pingsan. Karena aku dan ibu panik, ya kita bawa kamu ke rumah sakit” terangnya. Aku melihat ke sekeliling ruangan, dan tidak melihat ibu. Aku berpikir kalau ibu tidak peduli dengan keadaanku. “kak Hanna, ibu mana?” Tanyaku penasaran kepada kak Hanna. “oh ibu, karena ia panik, ibu menelepon ambulan dan ia tidak ikut karena ingin memberitahu ayah tentangmu” “oh ternyata ibu masih peduli kepadaku” gumam hatiku. Kak Hanna tiba–tiba ingin keluar ruangan. “Wil, kakak mau cari sinyal ya, disini sinyalnya jelek. Cuma sebentar kok, kakak pasti balik lagi” sambil tersenyum padaku. Dan kubalas senyumannya dengan maksud memberikan persetujuan.

Beberapa jam kemudian, pak dokter menghampiriku yang sedang berbaring. “namamu Wilania kan?” Tanyanya ke padaku. “iya dok, dokter yang periksa saya?” “iya… Ibu kamu ada?”. Aku heran dengan pak dokter yang menanyakan ibu, karena yang sakit kan aku bukan ibu. “memangnya ada apa dok? Kok tanya ibu?” Sedikit penasaran kutanya langsung kepada pak dokter. “mau ngasih laporan tentang keadaanmu” jawab pak dokter. “ya sudah, kasih tahu ke saya aja dok” saranku. “jangan… Kamu masih belum mengerti” cegah pak dokter. “brak…” Suara pintu terbuka. “eh ibu… Ibu darimana saja?” Tanyaku kepada ibu. “tadi ibu telepon ayahmu dulu. Eh pak dokter, lagi apa pak?” Tanya ibu kepada pak dokter. “kebetulan ibu datang. Tadi saya menanyakan ibu kepada Wilania. Saya ingin melaporkan hasil tes anak ibu” “oh, kalau begitu ayo pak. Tapi Jangan disini pak, di luar saja” ibu mempersilahkan pak Dokter ke luar ruangan. Karena aku begitu heran dengan pak dokter yang sedikit menutupi keadaanku. Aku mengintip dan mendengarkan mereka dari selah–selah pintu. Saat aku mendengarkan mereka bicara, pak dokter mengatakan “ker”. Kemudian aku melihat ibu sedih. Kudengarkan perkataan pak dokter yang mengulang kata “ker”. “hah…” Gumam hatiku dan aku terdiam mendengar kata “kanker”. “stadium berapa dok?” Tanya ibu kepada pak dokter dengan nada rendah. “stadium akhir” pak dokter menunduk. “apa…?” Ibu terkejut mendengarnya. Dan aku pun tak menyangka akan separah itu keadaanku. “tapi dok, kenapa tidak ada tanda–tanda Wila terkena kanker dok? Setahu saya Wila tidak pernah mimisan dan hanya kali ini dia mimisan dan pingsan” ibu menitikan air mata. “mungkin anak ibu menutupinya” jawab pak dokter. Karena mendengar ucapan pak dokter tersebut, aku langsung berbaring kembali ke tempat tidur dan memikirkan kembali apa yang tadi pak dokter katakan.

Tiba–tiba ibu menghampiriku dan aku melihat wajah ibu tidak sedih. Sepertinya ibu menutupinya. Ibu tersenyum padaku dan kubalas senyumannya. “Wil, sebelum pingsan kamu mimisan. Apakah kamu sering mimisan?” Tanya ibu kepadaku dengan ragu. “aku lupa bu” aku menoleh ke arah kiri. “jangan bohong… Kamu” ibu membentakku. Aku terkejut dengan bentakkan ibu dan terdiam. “bu… Aku sakit apa? Sampai ibu membentakku seperti itu?” Tanyaku sambil menitikan air mata. “engga… Kamu ga sakit keras kok” sambil memalingkan wajahnya ke arah kiri dan ia pun pergi. Aku memikirkan tentang diriku mimisan. Seingatku pertama kali mimisan yaitu waktu kelas tiga SMP. Saat itu aku sedang makan siang di sekolah. Dan setiap sebulan sekali aku mimisan. Tapi saat ini setiap semingu sekali aku selalu mimisan. Karena kau takut dimarahi, aku tidak memberitahukan kepada kedua orangtuaku.

Setelah seminggu aku dirawat di rumah sakit. Sesuatu terjadi kepadaku, Rambutku mulai rontok dan tubuhku semakin melemah. Sepertinya penyakit itu telah menjalar ke seluruh tubuhku. Setiap hari selalu ada yang mengunjungiku. Baik temanku maupun teman–teman kedua orangtuaku. “gimana kamu, Wil? Udah seminggu ga masuk ke sekolah” tanya salah satu temanku yang bernama Gita. “iya nih… Aku juga ingin segera keluar dari sini” sambil cemberut. Karena aku begitu rindu dengan buku diaryku, aku meminta tolong kepada Gita untuk mengambilnya di rumahku. Tapi aku ingin dia tidak diketahui oleh ibu. “Git, aku punya satu permintaan untukmu. Tapi apakah kamu bersedia?” Tanyaku kepada Gita dengan tenang. “apa Wil? Silahkan saja, aku ini kan teman dekatmu” jawab Gita dengan mengelus rambutku. “aku ingin kamu mengambil buku diaryku di kamarku. Tapi tanpa sepengetahuan ibuku” kutatap matanya. Gita pun terkejut karena untuk menolongku mengambilkan diary itu gampang tapi untuk tidak diketahui ibuku itu susah. “akan kucoba Wil” jawab Gita dengan tersenyum kepadaku. Dan kubalas senyumannya.

Keesokan harinya Gita datang ke rumah sakit. “Wila, aku dapatkan diarymu” sambil memelukku yang sedang berbaring. “oh ya… Mana?” Sambil tanganku meminta. “ini dia” dengan tersenyum Gita memberikan kepadaku. “oh… Terimakasih Git. Kamu memang teman dekatku yang baik” saku memeluk daryku dengan erat. “memangnya apa yang kamu tulis sih di diarymu itu? Sehingga kamu ingin diary itu”. “aku sudah tulis kesedihanku dan kebahagiaanku tentang keluargaku. Jadi jika suatu saat nanti aku menghilang. Kesedihanku dan kebahagiaanku selama ini tertulis di diaryku ini. Nanti kamu kasih ke kakak atau ke ibuku atau siapalah yang penting keluargaku, yah…”. “iya Wil. Tapi kamu jangan ngomong gitu ah. Kamu pasti sembuh” Gita menyemangatiku dengan senyuman dan dukungan.

Sudah dua bulan aku berbaring di rumah sakit. Namun kali ini tubuhku sudah tak bisa bergerak dan kepalaku sudah tidak ditumbuhi rambut. Dan hari kemarinlah aku terakhir menulis di catatan diaryku. Mungkin ini memang takdirku. Kini ayahku tiba di Indonesia untuk menjengukku. Dan begitu pula yang lainnya. Mereka semua tinggal di rumah sakit untuk menemaniku. “ibu… sepertinya aku akan pergi bu, aku minta maaf karena aku mengira ibu tidak peduli kepadaku” kalimat yang ku ucapkan kini tak jelas. “ada apa Wil?” Tanya kakak. Aku hanya menggelengkan kepala. Semua keluargaku berkumpul dihadapanku. Mereka menatapku seperti kasihan kepadaku. Aku tak sanggup untuk melihat wajah mereka sehingga aku menitikan air mata. “ada yang kamu mau katakan?” Tanya ayahku. “iya… Aku ingin kalian tahu. Bahwa aku menyayangi kalian semua” begitu sulit aku mengucapkannya. Mereka tidak mengerti perkataanku, demi kejelasan perkataanku. Mereka memberikanku abjad dan aku hanya mengangguk jika salah satu abjad itu ditunjuk oleh kakakku benar. Setelah selesai, beru mereka mengerti apa yang aku katakan. “Wil, ibu mohon kamu jangan tinggalkan ibu. Ibu belum melihatmu bahagia”. Kemudian ibu menangis dan aku sedih melihatnya. Aku tersenyum menandakan aku bahagia. Setelah mengatakan hal tersebut mataku mulai bergoyang dan perlahan–lahan pandanganku memudar. Mungkin ini terakhir aku hidup, dan mataku tertutup untuk selamanya. Mereka semua menangisiku, sebelum tubuhku tidak bisa bergerak dan aku pergi selamanya. Aku menyimpan buku diaryku di atas meja.
“bu… Ini buku diarynya Wila. Tertinggal di meja” sambil menyodorkan diaryku kepada ibu. Ibu mulai membaca dari cover buku diaryku “kesedihanku–kebahagiaanku”. Ibu membaca diaryku dengan menitikan air mata. Karena aku menulis dari awal kubeli buku diaryku sampai akhir hidupku.

Inti Isi diaryku “ibu, aku kira ibu tidak peduli kepadaku. Aku melihat ibu hanya peduli dengan kakak saja. Tapi aku yakin ibu menyayangiku. Ibu… Aku sering menutupi tentang keadaanku. Aku selalu mimisan dan tidak pernah memberitahukanmu. Aku takut dan sedih jika ibu tahu. Aku baru sadar ibu peduli kepadaku saat aku mulai lemah. Tapi itu tak apa. Meskipun hanya akhir–akhir ini tapi aku yakin ibu sangat menyayangiku. Ibu, ayah dan kakak kalian harus tahu meskipun aku tak ada aku akan ada di dalam hati kalian”.

Kisah Perjuangan Seorang Ibu



Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang.

Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.

Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.


Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.

Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.

Dan kemudian berkata kepada ibunya: " Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata : "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa kesana".

Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya.

Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.


Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.

pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata : " Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.

Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna.
Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya" .


Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam- macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.

Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !".


Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.

Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi."

Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.


Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.

Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."

Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.

Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.

Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.

Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi."

Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar.

Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata: "Oh Mamaku...... ......... ...


Inti dari Cerita ini adalah:

Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan" Inilah kasih seorang mama yang terus dan terus memberi kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang mama demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses dimasa depannya. Mulai sekarang, katakanlah kepada mama dimanapun mama kita berada dengan satu kalimat: " Terimakasih Mama.. Aku Mencintaimu, Aku Mengasihimu. .. selamanya".

Sebaris Nyanyian dari Ibu



Ibuku malang ibuku tersayang…
Tatap matamu Satu,
seakan kasih sebening kaca.
Masa-masa duka,
Kau bangkitkan gaya jua
Dalam mengarungI gelombang samudra hidup ini.
Nasib tiada pernah kau ratapi
Kau terima dengan tabah
Kehidupan ini kau anggap bagai menggarap sawah
Dengan keringat sendiri kau tanamkan rasa harga diri.

Nyanyian itu tak akan pernah terlupakan olehku. Nyanyian yang mengingatkan aku akan ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur karena aku mempunyai seorang ibu yang berhati mulia, yang setiap malam selalu mengantar aku tidur sambil menyanyikan lagu itu, menasehati aku, memberikan aku pujian dan membuat aku bangga padanya karena ketabahan hatinya. Meskipun sering kali aku membuatnya kecewa tapi ibu tak pernah sedikitpun membesarkanya.

Dia tahu bagaimana yang seharusnya dia lakukan untuk memberiku semangat ketika aku merasa terpuruk, patah hati dan hilang kendali. Ibu adalah teman yang selalu mengisi hariku dan tempat berlabuh dimana semua kekesalan ku terobati. Ibu, aku rindu padamu...kapan kau akan menyanyikan lagu itu lagi? Kapan kau akan menjaga aku ketika aku tengah sekarat, dikala tak mampu untuk menyuap makanan. Kaulah penolongku ibu. Aku rindu semua itu. Biar sedewasa apupun diriku, jika berada di dekapmu aku merasa diriku seperti sepuluh tahun yang lalu. Merengek, manja dan selalu ceroboh.

Akhir-akhir ini, Aku tahu kau merasa  terkekang dengan sikap ayah, merasa dihianati, merasa tak dihargai. Aku tahu kau sangat prustasi. Sering kali dalam keluarga kita terjadi percecokan dan semua kesalahan selalu dilimpahkan padamu. Kau menerimanya dengan lapang meskipun kau tahu sendiri kalau itu bukan kesalahmu. Ayah tak tahu apa-apa tentang kasih sayang yang kau berikan kepada kami. Dia hanya bisa menuntut dan menuntut agar kita menuruti semua kemauannya dan jika tidak, kitalah yang dianggap tak tahu berterima kasih atas nafkahnya.

Kau tak pernah menyadarinya ibu, sehabis kau dan ayah bertengkar, aku tak pernah absen mengintipmu yang sedang menangis termangut-mangut dan kau sesekali menyalahkan dirimu sendiri. Ketika aku mulai terhanyut oleh tangisanmu, tanpa aku menyadari air mataku ikut menetes. Setitik, dua titik hingga mataku sembab.

Tak berakhir di situ. Semua orang mengejekmu, menghinamu karena kau dianggap tak berhasil dalam mengurus keluarga, karena kau disebut-sebut sebagai wanita jalang dan materialistis. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya pandai membuat masalah baru tanpa mengintropeksi diri mereka terlebih dahulu.

Aku jadi geram mendengar kata-kata mereka. Kalau saja mereka bukan keluarga dekat kita, ingin rasanya aku menghantam dan menjahit mulut mereka agar berhenti membuat gosip yang tak sedap mengenaimu. Bukanya aku tak berani membelamu, hanya saja mereka terlalu tua, dan bukankah ibu pernah menasehatiku, ”kalau ada orang yang berbuat nggak baik terhadap kita, kita harus diamkan karena karma masih berlaku di muka bumi ini Ka.” dan aku sangat, sangat menghargai nasehatmu itu.

Itu bukan sekali, dua kali kau mendapat perlakuan tidak baik dari mereka. Mereka memang nggak punya perasaan Bu, dan yang terakhir kau di fitnah berselingkuh hingga terjadi percecokan yang paling hebat dari yang sebelumnya. Sebegitu tak tahannya dirimu atas ketidakadilan tersebut, kau terpaksa pergi meninggalkan aku dan Deddy. Kau pergi tepat pada saat aku terjaga oleh mimpi meskipun tanpa nyanyian itu. Kau pergi pada tanggal 17 januari 2010, pukul empat ketika fajar belum tampak dari wajah bumi. Kau pergi dengan membawa luka serta kesedihanmu. Padahal tujuh hari sebelumnya, kita baru saja melangsungkan pesta ulang tahunmu yang ke-38.

Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat, kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat. Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah  jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.

Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya, adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu, sekarang  aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya aku karena memikul beban ini sendirian.

Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu, mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.

Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan selalu minta  kau rangkul.

Itu tadi beberapa kisah kumpulan cerpen tenatng Ibu yang diambil dari koleksi cerpenmu.com. Semoga cerpen cerpen tentang Ibu tadi membuat kita semua semakin menyayangi Ibu. Bahkan Nabi Muhammad memerintahkan kita untuk menyayangi Ibu kita 3 kali lipat lebih daripada kasih sayang kita kepada Bapak kita. Karena surga ada dibawah telapak kaki Ibu.

Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen dengan judul Kumpulan Cerpen Tetang Ibu; Kasih Sayang dan Kelembutan Ibu. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://katakatasmsyoko.blogspot.com/2013/10/kumpulan-cerpen-tetang-ibu-kasih-sayang.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Kata-Kata SMS -

Belum ada komentar untuk "Kumpulan Cerpen Tetang Ibu; Kasih Sayang dan Kelembutan Ibu"